Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pringadi Abdi Surya
PNS Kementerian Keuangan

Pengamat kebijakan publik. Instagramnya @pringadi_as.

Romantisme Nagari dan Pertumbuhan Ekonomi

Kompas.com - 31/03/2023, 15:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BAGAIMANAKAH caranya mengatasi kemiskinan ekstrem? Jika diminta menjawab pertanyaan tersebut, maka pendidikan (dalam jangka panjang) menjadi jawabannya.

Setidaknya jawaban tersebut akan selaras dengan apa yang diungkapkan Stephen Hawking di dalam Black Holes and Baby Universes.

Guna mengubah nasib hingga bisa menikah, ia berjuang untuk mendapatkan beasiswa di sekolah-sekolah terbaik.

Dalam pada itu, terbaca sebuah kritik yang dialamatkan ke Sumatra Barat di sebuah media sosial. Diungkapkan bahwa Sumatra Barat telah mengalami kemunduran dan hanya mengandalkan uang dari rantau sebagai penopang perekonomian.

Pertumbuhan ekonomi daerah di bawah rata-rata nasional sebagai imbas dari minimnya investasi yang masuk ke provinsi tersebut.

Membahas "rantau" akan lebih dalam dari perspektif "usaha mengubah nasib". Dalam darah Sumatra Barat, rantau lekat dengan pendidikan.

Barangkali hal ini tidak terlepas dari legacy yang ditinggalkan dari keberadaaan Sekolah Rajo (Kweekschool Fort de Kock) di Bukittinggi--dengan Tan Malaka sebagai salah satu alumni.

Anak-anak Sumatra Barat didorong mengenyam pendidikan sebaik mungkin hingga keluar kandang. Terlebih anak laki-laki.

Sebab dalam dunia lelaki Minang, apa-apa yang ada di kampung bukanlah menjadi hak milik, sehingga ia harus menaikkan harkat dirinya guna mendapatkan penghidupan layak. Dan itu dimulai lewat pendidikan.

Sejak zaman prakemerdekaan, dengan legacy tersebut, pendidikan menjadi perhatian penting bagi masyarakat Sumbar. Hal ini masih terlihat hingga kini.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sumatra Barat selalu di atas rata-rata nasional. Tahun 2022, provinsi ini berada dalam 10 besar peringkat IPM Indonesia, nomor 3 di Sumatera, hanya kalah dari Riau dan Kepulauan Riau.

Memang kritik tersebut ada benarnya. Anak-anak rantau mengirimkan uangnya ke kampung halaman. Saat Lebaran dan liburan tiba, kampung-kampung meriah dan perputaran uang menderas.

Namun, itu tak otomatis menjadi pertanda penurunan perekonomian. Lebih tepatnya, Sumatera Barat memilih secara sadar untuk menjadi sederhana. Ia tidak tergoda untuk melaju megah (meski punya banyak potensi untuk itu). Ada nilai yang dipertahankan agar nagari tetap menjadi nagari.

Ketika anak-anak rantau itu pulang, mereka masih merasakan nuansa kampung yang sama. Mungkin inilah yang dinamakan romantisme itu.

Sebenarnya, pertumbuhan ekonomi Sumatra Barat tidak buruk. Sumbar tetap tumbuh 4,36 persen, di bawah pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,31 persen. Alasannya, karena ekonomi Sumbar tetap tumbuh di atas target di dalam RKPD sebesar 3,40 persen.

Kajian Fiskal Regional (KFR) yang dibuat oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Sumatera Barat membedah situasi tersebut.

Beberapa hal baik terjadi seperti membaiknya rasio gini. Rasio gini Sumbar berada pada angka 0,292, jauh lebih baik dari angka nasional di 0,381. Angka ini menempatkan Sumbar di urutan ke-4 di Indonesia.

Rasio gini ini menunjukkan penurunan ketimpangan juga mengindikasikan adanya kesempatan yang sama bagi masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial.

Lebih lanjut, jika dilihat dari pedesaannya saja, rasio gini Sumbar jadi jauh lebih baik, yakni 0,243. Dan sebagaimana diketahui, Sumbar didominasi pedesaan.

Selain pertumbuhan ekonomi dan rasio gini, target-target makro kesra lain (tingkat pengangguran, angka kemiskinan, IPM, nilai tukar petani, dan nilai tukar nelayan) juga hampir semuanya tercapai. Hanya inflasi yang meleset dari target.

Dua kota yang menjadi acuan IHK adalah Padang dan Bukittinggi. Dua kota tersebut memang menjadi pusat perdagangan di Sumbar. Sementara itu, sentra pertanian berada di kabupaten lain.

Tingginya inflasi tersebut disumbangkan oleh naiknya harga komoditas, yang tidak terlepas dari naiknya harga bahan bakar.

Kondisi jarak tempuh antar kota/kabupaten di Sumbar yang cukup jauh untuk menuju pusat perdagangan tersebut membuat biaya distribusi meningkat karena konsumsi BBM yang tidak sedikit.

Sifat pertumbuhan ekonomi Sumbar yang didominasi kontribusi konsumsi memiliki dua sisi. Sisi baiknya perilaku konsumsi masyarakat Sumbar utamanya pada bahan makanan membuat perekonomian bisa berjalan normal.

Sisi lainnya adalah, hal ini sangat rentan dapat memengaruhi kesejahteraan masyarakat mengingat angka inflasi lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

Kebergantungan pada konsumsi itu juga terepresentasi pada tren laju pertumbuhan ekonomi dari sebelum pandemi hingga sekarang.

Triwulan IV-2019, Sumbar masih tumbuh 5,13 persen sebelum menjadi minus dan pelan-pelan pulih dengan berbagai stimulus fiskal yang diberikan Pemerintah baik pusat maupun daerah.

Variabel konsumsi ini yang begitu terdampak karena perekonomian Sumbar dipacu oleh perdagangan/pasar riil yang membutuhkan temu, sementara di masa itu pembatasan di ruang publik diberlakukan.

Pada sisi lain, ketertutupan Sumbar pada investasi yang menjadi kritik memang membuat Sumbar tidak memiliki pertumbuhan ekonomi yang menjulang. Tidak bisa ditampik, investasi menyumbang kontribusi yang juga besar pada pertumbuhan ekonomi.

Yang patut kita pertanyakan adalah kualitas pertumbuhan ekonomi tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang tak berkualitas menghasilkan efek samping seperti meningkatnya kesenjangan.

Dalam sisi kanibalismenya, angka laju pertumbuhan ekonomi justru mewakilkan kekuatan suatu wilayah yang menyerap uang/sumber daya dari wilayah lain.

Padahal, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas seharusnya menambahkan value dari produksi agregat di wilayah tersebut.

Kegagapan dalam merespons makna pertumbuhan ekonomi tersebut seringkali membuat pembangunan yang terjadi tidak ideal. Berbagai isu hadir, terutama dalam ketimpangan (rasio gini) dan persoalan identitas.

Kondisi sosio-ekonomi suatu daerah pun bergerak meninggalkan identitasnya menjadi "Jakarta-Jakarta baru". Gejala-gejala itu bisa kita lihat di berbagai kota.

Sumatera Barat tampak berusaha bertahan. Dalam diskusi yang lebih luas, banyak pekerjaan rumah yang mesti dilakukan dalam mempertahankan identitas, namun tak ketinggalan dalam berbagai bidang itu.

Dan belajar dari sejarah, pendidikan menjadi kunci (tanpa maksud melupakan pembangunan infrastruktur dasar lain).

Pertanyaannya, apakah institusi-institusi pendidikan di Sumatera Barat mampu berada di puncak dan menjadi magnet, sehingga bukan hanya anak-anak Sumatera Barat yang tertarik, melainkan juga anak-anak Sumatera lain atau bahkan di luar pulau Sumatera menjadikan Sumbar sebagai tujuan pendidikan?

Ini yang dikhawatirkan dari “rantau”—manakala anak-anak mudanya menyenyam pendidikan dan penghidupan di luar, namun tak kembali.

“Tak kembali” dalam arti tidak ada transfer pengetahuan dan pengalaman untuk menaikkan nilai yang ada.

Romantisme yang seyogianya baik ternyata menyembunyikan sebuah kejahatan, manakala kita abai pada peningkatan kualitas hidup masyarakat di kampung halaman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com