Kajian Fiskal Regional (KFR) yang dibuat oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Sumatera Barat membedah situasi tersebut.
Beberapa hal baik terjadi seperti membaiknya rasio gini. Rasio gini Sumbar berada pada angka 0,292, jauh lebih baik dari angka nasional di 0,381. Angka ini menempatkan Sumbar di urutan ke-4 di Indonesia.
Rasio gini ini menunjukkan penurunan ketimpangan juga mengindikasikan adanya kesempatan yang sama bagi masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial.
Lebih lanjut, jika dilihat dari pedesaannya saja, rasio gini Sumbar jadi jauh lebih baik, yakni 0,243. Dan sebagaimana diketahui, Sumbar didominasi pedesaan.
Selain pertumbuhan ekonomi dan rasio gini, target-target makro kesra lain (tingkat pengangguran, angka kemiskinan, IPM, nilai tukar petani, dan nilai tukar nelayan) juga hampir semuanya tercapai. Hanya inflasi yang meleset dari target.
Dua kota yang menjadi acuan IHK adalah Padang dan Bukittinggi. Dua kota tersebut memang menjadi pusat perdagangan di Sumbar. Sementara itu, sentra pertanian berada di kabupaten lain.
Tingginya inflasi tersebut disumbangkan oleh naiknya harga komoditas, yang tidak terlepas dari naiknya harga bahan bakar.
Kondisi jarak tempuh antar kota/kabupaten di Sumbar yang cukup jauh untuk menuju pusat perdagangan tersebut membuat biaya distribusi meningkat karena konsumsi BBM yang tidak sedikit.
Sifat pertumbuhan ekonomi Sumbar yang didominasi kontribusi konsumsi memiliki dua sisi. Sisi baiknya perilaku konsumsi masyarakat Sumbar utamanya pada bahan makanan membuat perekonomian bisa berjalan normal.
Sisi lainnya adalah, hal ini sangat rentan dapat memengaruhi kesejahteraan masyarakat mengingat angka inflasi lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Kebergantungan pada konsumsi itu juga terepresentasi pada tren laju pertumbuhan ekonomi dari sebelum pandemi hingga sekarang.
Triwulan IV-2019, Sumbar masih tumbuh 5,13 persen sebelum menjadi minus dan pelan-pelan pulih dengan berbagai stimulus fiskal yang diberikan Pemerintah baik pusat maupun daerah.
Variabel konsumsi ini yang begitu terdampak karena perekonomian Sumbar dipacu oleh perdagangan/pasar riil yang membutuhkan temu, sementara di masa itu pembatasan di ruang publik diberlakukan.
Pada sisi lain, ketertutupan Sumbar pada investasi yang menjadi kritik memang membuat Sumbar tidak memiliki pertumbuhan ekonomi yang menjulang. Tidak bisa ditampik, investasi menyumbang kontribusi yang juga besar pada pertumbuhan ekonomi.
Yang patut kita pertanyakan adalah kualitas pertumbuhan ekonomi tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang tak berkualitas menghasilkan efek samping seperti meningkatnya kesenjangan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.