BAGAIMANAKAH caranya mengatasi kemiskinan ekstrem? Jika diminta menjawab pertanyaan tersebut, maka pendidikan (dalam jangka panjang) menjadi jawabannya.
Setidaknya jawaban tersebut akan selaras dengan apa yang diungkapkan Stephen Hawking di dalam Black Holes and Baby Universes.
Guna mengubah nasib hingga bisa menikah, ia berjuang untuk mendapatkan beasiswa di sekolah-sekolah terbaik.
Dalam pada itu, terbaca sebuah kritik yang dialamatkan ke Sumatra Barat di sebuah media sosial. Diungkapkan bahwa Sumatra Barat telah mengalami kemunduran dan hanya mengandalkan uang dari rantau sebagai penopang perekonomian.
Pertumbuhan ekonomi daerah di bawah rata-rata nasional sebagai imbas dari minimnya investasi yang masuk ke provinsi tersebut.
Membahas "rantau" akan lebih dalam dari perspektif "usaha mengubah nasib". Dalam darah Sumatra Barat, rantau lekat dengan pendidikan.
Barangkali hal ini tidak terlepas dari legacy yang ditinggalkan dari keberadaaan Sekolah Rajo (Kweekschool Fort de Kock) di Bukittinggi--dengan Tan Malaka sebagai salah satu alumni.
Anak-anak Sumatra Barat didorong mengenyam pendidikan sebaik mungkin hingga keluar kandang. Terlebih anak laki-laki.
Sebab dalam dunia lelaki Minang, apa-apa yang ada di kampung bukanlah menjadi hak milik, sehingga ia harus menaikkan harkat dirinya guna mendapatkan penghidupan layak. Dan itu dimulai lewat pendidikan.
Sejak zaman prakemerdekaan, dengan legacy tersebut, pendidikan menjadi perhatian penting bagi masyarakat Sumbar. Hal ini masih terlihat hingga kini.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sumatra Barat selalu di atas rata-rata nasional. Tahun 2022, provinsi ini berada dalam 10 besar peringkat IPM Indonesia, nomor 3 di Sumatera, hanya kalah dari Riau dan Kepulauan Riau.
Memang kritik tersebut ada benarnya. Anak-anak rantau mengirimkan uangnya ke kampung halaman. Saat Lebaran dan liburan tiba, kampung-kampung meriah dan perputaran uang menderas.
Namun, itu tak otomatis menjadi pertanda penurunan perekonomian. Lebih tepatnya, Sumatera Barat memilih secara sadar untuk menjadi sederhana. Ia tidak tergoda untuk melaju megah (meski punya banyak potensi untuk itu). Ada nilai yang dipertahankan agar nagari tetap menjadi nagari.
Ketika anak-anak rantau itu pulang, mereka masih merasakan nuansa kampung yang sama. Mungkin inilah yang dinamakan romantisme itu.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.