JAMBI, KOMPAS.com - Pembangunan megaproyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Merangin, Jambi, dengan kapasitas 350 megawatt, memunculkan rasa takut di hati warga.
Hal itu juga dirasakan pentolan masyarakat adat Muaro Langkap, Depati Mukhri Soni, yang naik tahta 2021 lalu.
Baca juga: Mereka yang Ketakutan di Tengah Pembangunan Megaproyek PLTA Batang Merangin (Bagian 1)
“Saya dibenci keponakan, keluarga sendiri. Biarlah, saya tanggung. Saya mau mengembalikan sirih ke gagangnya, pinang ke tampuknya. Ini demi kebaikan semua orang di masa sekarang dan mendatang,” kata Datuk Mukhri di rumah induk sko dengan mata berbinar.
Aturan sepanjang adat telah berlaku kepada pengelola PLTA Batang Merangin pada 2010 lalu.
Namun setelah Depati Ahmad S turun tahta, perusahaan gencar melakukan pendekatan pada depati yang baru, Helmi Muid.
Misi perusahaan kala itu, kata Datuk Mukhri, ingin mengalihkan kepemilikan tanah adat menjadi milik perusahaan.
Sudah ada 20 hektare tanah di kawasan adat yang berstatus sertifikat hak milik (SHM). Sehingga telah terjadi jual beli yang intinya tanah adat itu kini milik perusahaan.
Atas kejadian itu, masyarakat adat Muaro Langkap menggugat Helmi Muid, Direktur PT Kerinci Merangin Hidro, dan Badan Pertanahan Kabupaten Kerinci ke pengadilan perdata.
Gugatan yang telah sidang perdana pada Senin (23/5/2022) belum ada keputusan sampai kini.
“Karena tergugat pertama meninggal dunia, kita akan ajukan ulang. Kita akan perjuangkan tanah 20 hektare itu bukan milik pribadi, tetapi atas nama masyarakat adat Muaro Langkap,” katanya.
Sementara itu, Corporate Communication Kalla Grup, Aji menanggapi dingin kasus perampasan tanah adat yang dilakukan perusahaan, meskipun sudah dilaporkan secara perdata ke Pengadilan Negeri Sungai Penuh.
“Kita akan laporkan ke atasan terkait kasus perampasan tanah adat yang telah dilaporkan Depati Muaro Langkap,” kata Aji.
Perampasan tanah adat yang terjadi tidak hanya di Jambi, tapi jamak di Indonesia.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, total 8,5 juta hektare kawasan adat di Indonesia dirampas.
Angka tersebut akumulasi selama lima tahun terakhir.
“Perampasan dilakukan pihak-pihak yang bergerak di sektor perkebunan, kawasan hutan negara, pertambangan, dan pembangunan proyek infrastruktur,” kata Deputi Sekretaris Jenderal AMAN, Erasmus Cahyadi melalui sambungan telepon.
Dampak dari perampasan, meletusnya konflik masyarakat adat. Ada 301 kasus yang mengakibatkan 672 jiwa masyarakat adat yang dikriminalisasi. Sementara ada 8,5 juta hektare wilayah adat yang dirampas.
Erasmus mengatakan, untuk membela hak-hak masyarakat adat, pihaknya telah mengembangkan model advokasi kebijakan dengan pendekatan bantuan hukum struktural, yaitu dengan cara litigasi dan non-litigasi.
Mereka juga gencar mengampanyekan ke publik, aksi pembelaan di lapangan, serta memperkuat hukum lembaga adat, kawasan adat, dan kearifan lokal.
Ironi, kata Erasmus, perlindungan hukum terhadap masyarakat adat kini berjalan mundur.
"Hukum tidak menjawab persoalan kami, tetapi mempercepat perampasan tanah-tanah adat melalui UU Minerba dan Cipta Kerja," ujar dia.
“Undang-undang yang baru ini condong kepada kepentingan korporasi dan proyek strategis nasional, dibanding hak-hak masyarakat adat,” kata Erasmus.
AMAN begitu getol memperjuangkan hak masyarakat adat. Mereka menyadari adanya hubungan yang kuat antara masyarakat adat dengan tanah ulayat.
Tidak hanya karena bernilai ekonomi dan ruang hidup, tetapi juga teologi (kepercayaan) yang terhubung dengan leluhur dan Tuhan.
Secara turun temurun tanah adat Depati Muaro Langkap dari Tamiai sampai Perentak, diwariskan ke anak jantan dan betino, sebutan untuk masyarakat adat Muaro Langkap.
Semua anak jantan dan betino boleh memanfaatkan tanah adat itu, bahkan sejak dia lahir sampai meninggal.
Syaratnya satu, tidak boleh menjadi hak milik. Semua masyarakat adat mematuhi aturan tidak tertulis itu selama ribuan tahun.
Datuk Mukhri mencontohkan, pada tahun 1924, penjajah Belanda menerapkan ajum arah (pedoman) dari orang adat, dengan memotong 40 kerbau, sebelum membuka hutan di kawasan adat untuk perkebunan kopi.
Termasuk status tanahnya hanya pinjam pakai atau hak guna usaha (HGU).
“Orang-orang Belanda yang kita kenal penjajah itu lebih bijaksana. Mereka meminta izin dan ajum arah (pedoman) dari orang adat. Ketika mau bangun perkebunan kopi (sekarang lokasi PLTA), mereka mau potong 40 kerbau dan pinjam pakai atau Hak Guna Usaha (HGU) dari Depati Muaro Langkap. Artinya tidak menjadi hak milik,” kata Datuk Mukhri menjelaskan.
Datuk Mukhri mengatakan, PLTA hanya sementara, tapi tatan Muaro Langkap selamanya.
Dengan konsep pinjam pakai, maka tanah adat tetap menjadi milik anak-cucu masyarakat adat Muaro Langkap.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.