Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka yang Ketakutan di Tengah Pembangunan Megaproyek PLTA Batang Merangin (Bagian 1)

Kompas.com - 28/03/2023, 17:44 WIB
Suwandi,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

JAMBI,KOMPAS.com - Truk raksasa proyek melintasi jalan nasional. Sejumlah rumah berselimut debu, getaran kecil menembus dinding menyelinap ke ruang tamu.

Sepelemparan batu di bawahnya, aliran sungai yang deras melambat dan terus meninggi.

Tembok setinggi lebih dari 20 meter menghadang air di badan sungai. Di balik tembok, truk raksasa, crane, dan alat berat menderu.

Lima rumah yang terimpit jalan dan bendungan sungai, semakin lusuh. Pemiliknya kian rapuh.

Gustina (57), penghuni rumah di antara sungai dan jalan hanya bisa pasrah.

Tangan keriputnya tak mampu mencegah pembangunan. Seorang diri di masa tua meruntuhkan nyalinya untuk menghalau barisan truk raksasa perusahaan.

“Kata mereka (perusahaan) aman, aman tak ada masalah. Namanya orang kecil ini, mau ngadu, ngadu ke mana kami tidak tahu,” kata Gustina di rumahnya, di Dusun Kaliangga, Desa Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Jambi, akhir Februari lalu.

Perempuan yang baru beberapa bulan kehilangan suami ini mengaku dirundung ketakutan.

Perusahaan mengklaim rumahnya aman. Namun, kenyataannya, seluruh ruangan di rumahnya retak. Mulai dari ruang tidur, tamu, hingga dapur.

Tanah di belakang rumahnya berkali-kali longsor. Rumah yang berada di puncak tebing sungai dan berhadapan langsung dengan jalan nasional, tempat truk raksasa melintas ternyata mengandung bahaya.

Dampak dari ledakan dinamit pembangunan terowongan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Merangin, Jambi, di tubir Sungai Batang Merangin, membuat 33 rumah radius terdekat retak.

Pembangunan mega proyek PLTA Batang Merangin dikerjakan PT Kerinci Merangin Hidro, anak usaha dari Kalla Grup.

PLN telah meneken perjanjian jual beli tenaga listrik (PPA) dengan perusahaan milik Jusuf Kalla, pada Akhir 2018 lalu.

Dengan kapasitas 350 MW, setrum dari PLTA Batang Merangin akan memasok listrik ke sistem Sumatera.

Aliran setrum sebesar 1.280 giga watt hour per tahun ini hanya mengalir saat beban puncak di PLN Regional Sumatera.

Proyek dengan nilai investasi Rp 13,4 triliun ini menyumbang kurang dari 10 persen dari beban puncak listrik di Sumatera yakni sebesar 6.928 megawatt.

Sebagian besar warga memang sudah menerima dana kompensasi. Namun, lain hal dengan Agustina sudah berjuang enam bulan. Sampai suaminya meninggal, kompensasi belum juga diberikan perusahaan.

“Sampai suami saya (meninggal), Mas, dana kompensasi ini tidak diberikan perusahaan. Kami ini warga kecil, tangan di bawah. Ya pasrah saja, mau dikasih atau tidak,” kata dia.

Retak di dinding kamar tidurnya begitu parah. Sudah terbentuk lubang yang menganga selebar dua jari orang dewasa dan panjang lebih dua meter.

Sementara aktivitas truk raksasa dengan kapasitas lebih dari 30 ton yang melintas menimbulkan getaran.

“Terasa getarannya, kalau malam itu lebih kuat. Saya tidur sendirian, takut sewaktu-waktu dinding kamar saya ini ambruk,” kata dia.

Warga lainnya, Tuti, di ruang tamu sedang merawat bayinya yang berusia tiga bulan.

Dari ruangan ini, truk raksasa perusahaan yang melintas menimbulkan getaran skala kecil.

Serupa dengan tetangganya Agustina, retak di rumah Tuti serius di seluruh ruangan dan belum menerima kompensasi. Dia sudah melapor ke perusahaan tiga bulan lalu.

"Anak kami ini masih umur tiga bulan. Kadang terbangun dengar suara truk, terkejut dia. Kami juga khawatir dindingnya tiba-tiba ambruk, karena retakannya tinggi dari atas sampai bawah," kata dia sembari memasang kain penutup telinga anaknya.

Nihil Transparansi 

Pada siang yang terik, Amri, warga Desa Lubuk Paku, kaget patok bewarna merah putih menancap di ladangnya.

Lelaki itu sempat naik pitam karena pemasangan patok tanpa izin.

Tidak lama berselang, terbit ketakutan. Pasalnya, masyarakat Desa Lubuk Paku tengah gamang, apakah daerah itu masuk dalam area genangan PLTA atau tidak.

Perusahaan belum pernah memberikan informasi terkait luas genangan dan berapa rumah yang akan tenggelam.

“Tidak tahu, Pak. Perusahaan tidak pernah memberikan sosialisasi luas genangan dan berapa rumah yang akan tenggelam. Tapi sudah ada belasan rumah yang diganti rugi,” kata Amri.

Rumah Amri berada di bantaran sungai. Jaraknya hanya 1 meter dari batas terakhir tanah dan rumah di kampung yang dibebaskan perusahaan.

Tidak adanya pemberitahuan dari pihak perusahaan terkait rencana bendungan membuatnya gusar.

Berada dalam radius 1 meter dengan genangan air bendungan tentu membuatnya takut.

“Saya tidak tahu bagaimana cara mereka mengukur untuk rumah atau ladang yang memenuhi syarat dibebaskan. Tapi saya takut untuk hidup berdekatan dengan air bendungan. Saya berharap mereka ganti rugi rumah saya, karena kami sekeluarga mau pindah,” terangnya.

Dia menuturkan, lebar patok di sisi kiri kanan sungai sekitar 200 meter. Sementara panjangnya sudah lebih dari 2 kilometer.

Dengan demikian, luasan genangan yang berada di Desa Lubuk Paku bisa mencapai 400 hektare.

Pembebasan lahan juga banyak masalah, kata Amri. Harganya sangat bervariasi, dari Rp 15.000 per meter hingga Rp 25.000 per meter. Bahkan ada dua lokasi tanah, di mana perusahaan belum membayar uang ganti rugi.

Pengukuran tanah dinilai Amri tidak adil. Lantaran pada bantaran sungai yang curam, warga mengukur luasnya 5.000 meter persegi. Sementara menurut perusahaan, luasnya hanya 2.000 meter persegi.

Dengan demikian perusahaan hanya membayar Rp 30 juta yang seharusnya Rp 75 juta.

“Perusahaan itu mengukurnya pakai GPS. Jadi tanah yang miring itu ditembak lurus. Sementara saya ukur tanah secara manual. Hasilnya jauh berbeda,” kata Amri.

Ketika membebaskan lahan, perusahaan tidak memberikan informasi kepada warga terkait mengapa rumah dan ladang mereka dibebaskan.

Sampai sejauh ini, belum ada warga yang mengetahui, seberapa luas genangan dan seberapa banyak rumah yang akan tenggelam.

Suriwati (67), warga lainnya, menuturkan, rumahnya yang berada di pinggir Sungai Batang Merangin sudah dibebaskan perusahaan Oktober 2022.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com