Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Joseph Osdar
Kolumnis

Mantan wartawan harian Kompas. Kolumnis 

Tatkala Jawa Mulai Rusak

Kompas.com - 27/03/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KETIKA bertapa atau bermeditasi di Pantai Parangkusumo, pantai selatan Jogya tahun 1805, Pangeran Diponegoro menerima bisikan mistis (wisik ghaib) dari Sunan Kalijogo.

Isi bisikan metafisis itu antara lain berupa penyampaikan pesan bahwa tatanan kehidupan kraton-kraton Yogya dan Solo (Jawa) akan mulai rusak, hancur, berantakan (Jawa wiwit bubrah).

Kraton-kraton Yogya dan Solo adalah kraton dinasti Mataram yang merupakan pusat tatanan kehidupan atau budaya Jawa. Maka Pangeran Diponegoro mengatakan kerusakan kraton-kraton itu adalah kerusakan Jawa.

Pertemuan mistis antara Pangeran Diponegoro dengan Sunan Kalijogo ini ditulis oleh Diponegoro dalam autobiografi sang pangeran ketika berada dalam tahanan pemerintahan Hindia Belanda di Benteng Nieuw Amsterdam di Manado, Sulawesi Utara.

Autobiografi bernama Babad Diponegoro itu ditulis selama sembilan bulan, 20 Mei 1831 sampai 2 Februari 1832.

Babad Diponegoro pada 18 Juni 2013, diterima Komite Panasiat Internasional UNESCO sebagai salah satu dari 299 naskah dari semua negara di dunia yang telah masuk ke Daftar Internasional Ingatan Kolektif Dunia (Memory of the World Register).

Babad Diponegoro disejajarkan dengan buku harian Presiden Amerika Serikat pertama George Washington (1789 – 1797).

Diponegoro merasa yakin Jawa wiwit bubrah atau hancur dimulai kedatangan Gubernur Jendral Hindia Belanda boneka Perancis Herman Willem Dandles (memerintah dari 1808–1811) dan Letnan Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles (memerintah di Indonesia 1811–1816).

Kedua diktaktor Belanda/Perancis dan Inggris oleh para sejarahwan internasional itu dikatakan sebagai pembawa modernisasi dan reformasi di Jawa, tapi sekaligus penghancuran yang memporakporandakan Jawa.

Sejarahwan terkemuka Inggris tentang Indonesia, Pater Carey, seolah-olah mengatakan Daendles dan Raffles telah membuat masyarakat Jawa jungkir balik diterjang tsunami dan bom laut.

Kedua diktaktor ini selain memperkenalkan pemerintahan militeristik (terutama Daendles) juga membawa sistem “Orde Baru” di tanah Jawa.

Daendles mereformasi dan memodernisasi Jawa antara lain dengan membangun infrastruktur jalan raya atau grote postweg dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (ujung timur Jawa Timur).

Pembangunan infrastruktur untuk pertahanan militer Belanda boneka Perancis ini menewaskan ratusan ribu kuli Jawa.

Sementara Raffles yang terkenal memopulerkan Jawa dengan Kebun Raya Bogor, pada 19-20 Juni 1812, mengerahkan ribuan tentara menyerang dan membombardir dengan meriam kraton Yogya.

Saat itu Yogya diperintah oleh Hamengku Buwono kedua yang sedang berselisih dengan puteranya yang kemudian menjadi Hamengkubuwono III.

Serangan Inggris ini ditandai dengan penjarahan besar-besaran kekayaan kraton. Kraton jadi miskin dan kekuatan militernya mati sampai hari ini.

Sejarahwan Inggris Peter Carey melukiskan serbuan pasukan Inggris yang menggunakan tentara bayaran dari India ini dengan mengatakan, ramalan suara ghaib tentang awalnya runtuhnya Tanah Jawa yang diterima Diponegoro di Parangkusumo pada sekitar 1805 nampaknya tergenapi.

“Masa ini ditandai dengan pelucutan kekuasaan kraton-kraton Jawa bagian selatan sesuai perjanjian yang dipaksakan Daendles (Januari 1811) dan Raffles (Agustus 1812) yang memangkas banyak sekali sumber-sumber daya militer dan keuangan utama kraton," demikian tulis Peter Carey.

Di bawah sub judul “Wajah Sebuah Orde Baru", dalam buku terbitan Penerbit Kompas 2015, “Takdir – Riwayat Pangeran Diponegoro (1785 – 1855)", Peter Carey menuliskan,“Tidak pernah lagi seorang gubernur jenderal atau letnan jenderal merasa takut menghadapi kekuatan ancaman militer kraton…….. (Raffles) secara efektif telah melucuti kekuatan militer keraton secara telak untuk selamanya”.

Daendles dan Raffles membawa sistem penjajahan gaya baru mengarah ke puncaknya. Di masa itu (1808–1816) kedua pembawa Orde Baru ini membuka jalan ke segala macam kehidupan di Jawa bisa terjamah: “hubungan seksual, aturan tata busana, potongan rambut, infrastruktur transportasi, jalan raya, bahasa, stereotip ras, hubungan antara orang Tionghoa dan Jawa, penerapan sistem perbudakan, sistem hukum, cara minum teh (ngopi) dan seterusnya.”

Saya membuat tulisan ini setelah terinspirasi dari buku sejarah tulisan Peter Carey (Inggris), Farish A. Noor (Malaysia), dan MC Ricklef (Australia, almarhum).

Buku mereka yang saya baca berulang-ulang adalah “Sejarah Modern Indonesia”, “Samber Nyawa – Pangeran Mangkunegara I (1726 – 1795)”, “Takdir – Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855)”, “Ras, Kuasa, Dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda 1808 – 1830” dan lain-lainnya.

Beberapa buku itu banyak menemani saya dalam perjalanan kereta api keliling Jawa tahun 2017–2021.

Perjalanan kereta api ini membuat saya tertarik terhadap sebagian besar wilayah pantai utara (Pantura) Jawa yang selalu digenangi banjir dan dilintasi infrastruktur jalan raya buatan Daendles.

Dalam perjalanan kereta api ini saya mencatat pertemuan dengan seorang pejabat pemerintahan di beberapa kota pantura. Saya catat apa yang mereka katakan.

“Banjir ini menjadi-jadi setelah jalan tol dibangun besar-besaran dan ratusan pedagang telur asin di tepi jalan tidak bisa jualan lagi". Kata-kata ini yang selalu saya ingat.

Pada Kamis 16 Maret 2023, saya mengadakan kontak telepon dengan Peter Carey. Ketika bicara soal jalan raya Daendles, Peter Carey mengatakan “grote postweg” Daendles itu disempurnakan Jokowi.

Kemudian Peter Carey mengulangi kalimat dalam bukunya. “Memang, jalan ini (jalan raya Daendles) merupakan sebuah paradoks, di satu sisi mempersingkat jarak fisik, di sisi lain jalan ini memperkenalkan kezaliman pemisah antara para penguasa dan yang dikuasai,” demikian kalimat itu.

Dalam perjalanan kereta api keliling Jawa selama tiga tahun, saya juga jumpa seorang paranormal pendiri dan sesepuh kelompok Paseduluran Mataram Yogyakarta, Bernama Bartho Ratsyi (68 tahun).

Dengan Bartho di Cebongan, Sleman, Jogya, saya bercerita tentang pertemuan saya dengan budayawan Pramudya Ananta Toer di Wisma Negara, kompleks Istana Kepresidenan Jakarta tahun 2000.

Pramudya waktu itu bercerita tentang Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825 – 1830). Diponegoro ingin mengusir Belanda.

Pemerintahan Hindia Belanda saat itu jadi bangkrut dari segi keuangan, tapi berhasil mengalahkan Diponegoro.

Peter Carey dan Ricklefs juga bilang Diponegoro kalah perang. Usaha mengusir penjajahan mulai mendapat jalan menuju keberhasilan setelah awal abad ke-20, Sukarno dan tokoh-tokoh lainnya mengumandangkan tanpa henti tentang persatuan/kesatuan Indonesia dan nasionalisme serta mendirikan partai dengan slogan “Merdeka sekarang juga”.

Sukarno dan lain-lainnya dipenjara Belanda berkali-kali, tapi masyarakat terpukau seruan Bung Karno itu.

Maka 17 Agustus 1945, Sukarno didampingi Bung Hatta di depan corong menyerukan proklamasi kemerdekaan RI, dan merdeka hingga kini.

Namun, Bartho mengatakan bisik gaib Parangkusumo tentang ramalan “Jawa bubrah” terus berjalan sampai saat ini.

“Coba lihat dan renungan tanda-tanda zaman saat ini persis dengan masa Daendles dan Raffles yang menimbulkan perang Jawa.”

Bacalah dan renungan sejarah bermutu, jangan membuka video sejarah tentang narasi jorok tidak bermoral yang banyak beredar di masa pandemi covid-19.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com