Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Joseph Osdar
Kolumnis

Mantan wartawan harian Kompas. Kolumnis 

Tatkala Jawa Mulai Rusak

Kompas.com - 27/03/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Serangan Inggris ini ditandai dengan penjarahan besar-besaran kekayaan kraton. Kraton jadi miskin dan kekuatan militernya mati sampai hari ini.

Sejarahwan Inggris Peter Carey melukiskan serbuan pasukan Inggris yang menggunakan tentara bayaran dari India ini dengan mengatakan, ramalan suara ghaib tentang awalnya runtuhnya Tanah Jawa yang diterima Diponegoro di Parangkusumo pada sekitar 1805 nampaknya tergenapi.

“Masa ini ditandai dengan pelucutan kekuasaan kraton-kraton Jawa bagian selatan sesuai perjanjian yang dipaksakan Daendles (Januari 1811) dan Raffles (Agustus 1812) yang memangkas banyak sekali sumber-sumber daya militer dan keuangan utama kraton," demikian tulis Peter Carey.

Di bawah sub judul “Wajah Sebuah Orde Baru", dalam buku terbitan Penerbit Kompas 2015, “Takdir – Riwayat Pangeran Diponegoro (1785 – 1855)", Peter Carey menuliskan,“Tidak pernah lagi seorang gubernur jenderal atau letnan jenderal merasa takut menghadapi kekuatan ancaman militer kraton…….. (Raffles) secara efektif telah melucuti kekuatan militer keraton secara telak untuk selamanya”.

Daendles dan Raffles membawa sistem penjajahan gaya baru mengarah ke puncaknya. Di masa itu (1808–1816) kedua pembawa Orde Baru ini membuka jalan ke segala macam kehidupan di Jawa bisa terjamah: “hubungan seksual, aturan tata busana, potongan rambut, infrastruktur transportasi, jalan raya, bahasa, stereotip ras, hubungan antara orang Tionghoa dan Jawa, penerapan sistem perbudakan, sistem hukum, cara minum teh (ngopi) dan seterusnya.”

Saya membuat tulisan ini setelah terinspirasi dari buku sejarah tulisan Peter Carey (Inggris), Farish A. Noor (Malaysia), dan MC Ricklef (Australia, almarhum).

Buku mereka yang saya baca berulang-ulang adalah “Sejarah Modern Indonesia”, “Samber Nyawa – Pangeran Mangkunegara I (1726 – 1795)”, “Takdir – Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855)”, “Ras, Kuasa, Dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda 1808 – 1830” dan lain-lainnya.

Beberapa buku itu banyak menemani saya dalam perjalanan kereta api keliling Jawa tahun 2017–2021.

Perjalanan kereta api ini membuat saya tertarik terhadap sebagian besar wilayah pantai utara (Pantura) Jawa yang selalu digenangi banjir dan dilintasi infrastruktur jalan raya buatan Daendles.

Dalam perjalanan kereta api ini saya mencatat pertemuan dengan seorang pejabat pemerintahan di beberapa kota pantura. Saya catat apa yang mereka katakan.

“Banjir ini menjadi-jadi setelah jalan tol dibangun besar-besaran dan ratusan pedagang telur asin di tepi jalan tidak bisa jualan lagi". Kata-kata ini yang selalu saya ingat.

Pada Kamis 16 Maret 2023, saya mengadakan kontak telepon dengan Peter Carey. Ketika bicara soal jalan raya Daendles, Peter Carey mengatakan “grote postweg” Daendles itu disempurnakan Jokowi.

Kemudian Peter Carey mengulangi kalimat dalam bukunya. “Memang, jalan ini (jalan raya Daendles) merupakan sebuah paradoks, di satu sisi mempersingkat jarak fisik, di sisi lain jalan ini memperkenalkan kezaliman pemisah antara para penguasa dan yang dikuasai,” demikian kalimat itu.

Dalam perjalanan kereta api keliling Jawa selama tiga tahun, saya juga jumpa seorang paranormal pendiri dan sesepuh kelompok Paseduluran Mataram Yogyakarta, Bernama Bartho Ratsyi (68 tahun).

Dengan Bartho di Cebongan, Sleman, Jogya, saya bercerita tentang pertemuan saya dengan budayawan Pramudya Ananta Toer di Wisma Negara, kompleks Istana Kepresidenan Jakarta tahun 2000.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com