Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
M. Ikhsan Tualeka
Pegiat Perubahan Sosial

Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com - Instagram: @ikhsan_tualeka

Papeda: Antara Jatuh Gengsi dan Masa Depan Ketahanan Pangan

Kompas.com - 24/03/2023, 14:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDEKS Ketahanan Pangan (IKP) Provinsi 2021 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan empat provinsi di kawasan timur Indonesia ada di urutan paling rendah.

Urutanya Maluku Utara ada di peringkat 31 dengan indeks 59,58; Maluku urutan 32 dengan indeks 58,70; Papua Barat berada di urutan 33 indeksnya 46,05; Papua di peringkat paling bawah 34 dengan indeks 35,48.

Temuan ini terkonfirmasi dalam rangkuman satu hasil riset dari Universitas Pattimura baru-baru ini yang memperlihatkan masa depan ketahanan pangan di kepulauan Maluku merisaukan.

Satu hal yang menjustifikasi kerisauan itu adalah karena makin hilangnya minat masyarakat terhadap sagu atau papeda. Makanan yang pernah menjadi menu utama kebanyakan ras Melanesia itu makin tergerus zaman.

Bila dulu saban hari orang Maluku Raya (Maluku dan Maluku Utara), Papua dan sebagian Sulawesi makan papeda, sedangkan nasi kadang hanya seminggu sekali, sekarang berbalik. Papeda seminggu sekali, bahkan mungkin lebih jarang lagi.

Sejumlah anak muda Maluku Raya mengaku sudah tak terbiasa makan papeda. Hal ini antara lain juga dipengaruhi hilangnya kebiasaan makan papeda di rumah-rumah mereka. Sebelumnya makanan pokok, sekarang hanya sekadar makanan khas.

Suatu ketika di restoran yang menyediakan masakan khas Indonesia timur di Ambon, ada satu keluarga yang mau makan. Papeda satu sempe (baki besar dari tanah liat) juga turut dihidangkan.

Namun saat ibu dari keluarga itu hendak menuang papeda ke piring putranya yang duduk paling pojok, terdengar suara; “Mama nih beta sudah bilang seng (tidak) makan papeda, paksa terus, beta seng (tidak) suka”.

Ekspresi atau respons semacam dalam kadar yang lebih rendah belakangan ini kerap muncul di kalangan keluarga orang Indonesia timur, terutama yang tinggal di kota.

Satu fenomena yang terjadi bukan serta-merta, namun memang karena sagu atau papeda telah lama dimarginalkan.

Sagu atau papeda terkadang dianggap sebagai makanan kelas dua. Jatuh gengsi bila ada di atas meja makan dan orang lain sampai tahu.

Ada satu cerita yang kerap jadi bahan lelucon atau anekdot di Maluku. Satu keluarga kedatangan tamu, pas waktu makan siang, sang tamu kemudian diajak makan bersama oleh keluarga itu.

Sebelum tamu ikut ke ruang makan, istri dari tuan rumah itu buru-buru bilang ke anak gadisnya yang lagi berdiri di depan meja makan; “Nona, angkat (pindahkan) papeda tuh ke dapur, nanti orang lihat katong (kita) macam orang susah saa”.

Pernah pula, ini pengalaman saya waktu kecil. Saat teman-teman sepermainan sedang berkumpul, ada saja yang sengaja menarik perhatian dengan menempelkan biji nasi di pipi atau dagu.

Mau pamer, tapi pura-pura tidak menyadari. Kalau kemudian ada yang mengingatkan; “Woe ada biji nasi di se (kamu) punya dagu tuh ee”. Baru dagunya dilap dengan tangan sambil bilang;“Oh iyo ee ada biji nasi”.

Menunjukan betapa bangganya makan nasi waktu itu. Nasi benar-benar berhasil dikonstruksi sebagai makanan dari peradaban yang lebih tinggi dan maju.

Fenomena ini telah lama menciptakan semacam hegemoni pangan, hingga masyarakat kemudian menempatkan beras atau nasi lebih unggul dibandingkan papeda dan tanaman umbi-umbian lainnya.

Padahal papeda dan umbi-umbian telah berabad-abad, bahkan mungkin ribuan tahun menjadi penyokong ketahanan pangan di kawasan timur Indonesia, khususnya di kalangan ras Melanesia.

Proses ‘jawanisasi pangan’ melalui nasi atau beras terus bergulir hingga hari ini. Belum lagi dengan merebaknya berbagai outlet makanan atau restoran cepat saji yang tentu saja mengandalkan nasi sebagai menu utama.

Padahal bila kita mau melihat atau belajar dari negara lain, entitas pangan lokal kerap dijadikan atau diposisikan secara ‘terhormat’. Menjadi menu makan yang membanggakan.

Tentang ini, saya sendiri punya pengalaman yang berkesan. Itu saya alami dalam kesempatan ke Brunei Darussalam.

Usai menghadiri satu konferensi pemuda, tuan rumah menjamu peserta makan siang di salah satu komplek pertokoan di Bandar Seri Begawan.

Katanya kami akan makan makanan spesial, khas negara itu. Tidak disangka sebelumnya, ternyata yang dihidangkan adalah papeda.

Iya, kami ramai-ramai makan papeda. Makanan masyarakat di kawasan timur Indonesia yang terbuat dari endapan tepung sagu ini ternyata juga adalah menu yang dikenal luas di Brunei.

Tapi berbeda dalam nama atau penyebutan. Di Brunei, papeda disebut ambuyat.

Sebagai makanan tradisional, ambuyat bukan hanya digemari oleh masyarakat atau penduduk setempat, namun juga diminati oleh para turis yang berkunjung ke Brunei.

Sampai-sampai ada istilah atau kiasan; belum lengkap rasanya ke Brunei bila belum makan atau mencicipi ambuyat.

Sama seperti papeda, ambuyat sebelum dihidangkan digulung untuk kemudian dicampurkan dengan ikan kuah dan juga sambal. Rasanya benar-benar lezat, terlebih bagi yang memiliki hobi makan makanan pedas.

Yang menarik dari ambuyat adalah dalam cara menyantapnya. Kalau papeda biasanya langsung diseruput dari piring, menggunakan sendok atau pakai jari tangan, sementara ambuyat disuap ke mulut menggunakan candas; seperti sumpit dari kayu atau bambu tebal.

Candas sama persis dengan gata-gata di kepulauan Maluku dan Papua. Hanya saja gata gata ukurannya sedikit lebih besar dan digunakan untuk mengaduk atau menuangkan papeda ke piring.

Melihat bagaimana ambuyat diperlakukan istimewa di Brunei, terbersit keinginan atau harapan, papeda juga bisa dikemas dan diposisikan sebagai makanan yang istimewa di tanah air.

Apalagi kalau makan papeda juga dilengkapi dengan candas atau gata gata kecil. Tentu praktis dan terlihat lebih gaya.

Saya bahkan membayangkan suatu saat nanti, ada hari khusus makan papeda terutama di kawasan timur Indonesia. Yakni satu hari dalam seminggu yang disepakati untuk semua rumah warga, termasuk rumah makan atau restoran wajib menghidangkan papeda.

Setidaknya makanan utama yang disajikan atau dimakan pada hari yang sudah ditentukan itu berbahan dasar sagu.

Selain ada hari yang dikhususkan untuk makan papeda atau ‘papeda days’, semua instansi pemerintah yang mengadakan acara atau berkegiatan, juga wajib menyediakan papeda sebagai salah satu menu utama.

Bila perlu setiap tahun ada festival sagu atau papeda. Dalam festival tersebut warga bisa datang berbondong-bondong membawa berbagai panganan berbahan dasar sagu untuk dilombakan atau dimakan bersama, seperti halnya tradisi Makan Patita di kepulauan Maluku.

Bila ide semacam ini berjalan, papeda diangkat lagi dan menjadi kegemaran masyarakat, –tidak seperti fenomena saat ini kerap dianggap makanan pinggiran– tentu ekonomi warga juga ikut tumbuh dan berkembang.

Hutan-hutan sagu yang selama ini seperti tak bernilai, dan kerap diabaikan, akan kembali menjadi sumber ekonomi warga, seiring tingginya permintaan pasar.

Sesuatu yang tentunya afirmatif, mengingat sagu atau papeda juga dikenal memiliki kandungan nutrisi yaitu karbohidrat murni. Masuk dalam kategori makronutrien yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah banyak. Sebagai bahan energi dan meningkatkan fungsi otak.

Sagu atau papeda memang diketahui mengandung lemak jenuh yang rendah. Juga tak membutuhkan pupuk kimiawi sehingga tergolong makanan organik yang sehat dan ramah lingkungan.

Bahkan sejumlah kajian juga menyimpulkan bahwa sagu dapat pula mengatasi krisis energi, menjadi energi alternatif, di antaranya sebagai bioetanol.

Itu artinya, sagu tidak saja sebagai bahan pangan potensial, namun juga dapat dikembangkan dalam berbagai produk turunan yang bernilai, menjawab kebutuhan manusia.

Sudah waktunya sagu atau papeda diberi proporsi. Sosialisasi atau gerakan untuk kembali mengkonsumsi sagu atau papeda harus semakin gencar dilakukan, termasuk pula dibudidayakan.

Menjadi penting dan strategis untuk menghidupkan kembali pangan lokal yang satu ini. Selain akan berkontribusi nyata terhadap ketahanan pangan, juga untuk membuka mata banyak orang, bahwa makanan dari timur Indonesia ini tak kalah dengan dari daerah atau negara lain.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com