Menunjukan betapa bangganya makan nasi waktu itu. Nasi benar-benar berhasil dikonstruksi sebagai makanan dari peradaban yang lebih tinggi dan maju.
Fenomena ini telah lama menciptakan semacam hegemoni pangan, hingga masyarakat kemudian menempatkan beras atau nasi lebih unggul dibandingkan papeda dan tanaman umbi-umbian lainnya.
Padahal papeda dan umbi-umbian telah berabad-abad, bahkan mungkin ribuan tahun menjadi penyokong ketahanan pangan di kawasan timur Indonesia, khususnya di kalangan ras Melanesia.
Proses ‘jawanisasi pangan’ melalui nasi atau beras terus bergulir hingga hari ini. Belum lagi dengan merebaknya berbagai outlet makanan atau restoran cepat saji yang tentu saja mengandalkan nasi sebagai menu utama.
Padahal bila kita mau melihat atau belajar dari negara lain, entitas pangan lokal kerap dijadikan atau diposisikan secara ‘terhormat’. Menjadi menu makan yang membanggakan.
Tentang ini, saya sendiri punya pengalaman yang berkesan. Itu saya alami dalam kesempatan ke Brunei Darussalam.
Usai menghadiri satu konferensi pemuda, tuan rumah menjamu peserta makan siang di salah satu komplek pertokoan di Bandar Seri Begawan.
Katanya kami akan makan makanan spesial, khas negara itu. Tidak disangka sebelumnya, ternyata yang dihidangkan adalah papeda.
Iya, kami ramai-ramai makan papeda. Makanan masyarakat di kawasan timur Indonesia yang terbuat dari endapan tepung sagu ini ternyata juga adalah menu yang dikenal luas di Brunei.
Tapi berbeda dalam nama atau penyebutan. Di Brunei, papeda disebut ambuyat.
Sebagai makanan tradisional, ambuyat bukan hanya digemari oleh masyarakat atau penduduk setempat, namun juga diminati oleh para turis yang berkunjung ke Brunei.
Sampai-sampai ada istilah atau kiasan; belum lengkap rasanya ke Brunei bila belum makan atau mencicipi ambuyat.
Sama seperti papeda, ambuyat sebelum dihidangkan digulung untuk kemudian dicampurkan dengan ikan kuah dan juga sambal. Rasanya benar-benar lezat, terlebih bagi yang memiliki hobi makan makanan pedas.
Yang menarik dari ambuyat adalah dalam cara menyantapnya. Kalau papeda biasanya langsung diseruput dari piring, menggunakan sendok atau pakai jari tangan, sementara ambuyat disuap ke mulut menggunakan candas; seperti sumpit dari kayu atau bambu tebal.
Candas sama persis dengan gata-gata di kepulauan Maluku dan Papua. Hanya saja gata gata ukurannya sedikit lebih besar dan digunakan untuk mengaduk atau menuangkan papeda ke piring.