Begitu pula sebaliknya. Mereka percaya dan yakin bahwa jika mereka melakukan pelanggaran, baik di jalan raya, di tempat penginapan, di lokasi wisata, mereka akan menerima ganjaran sesuai aturan yang berlaku. Meskipun, misalnya, aturan tersebut tidak dikenal di negaranya.
Jadi pendeknya, keinginan pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk meraup sebanyak-banyaknya devisa negara dari para turis yang datang ke Bali tidak boleh dibangun atas permisifitas dalam menegakkan aturan yang berlaku kepada para turis, dari manapun negara asalnya.
Devisa tidak semestinya dijadikan alasan untuk melonggarkan eksistensi kedaulatan Indonesia.
Hal tersebut tidak saja berlaku pada para turis yang melanggar aturan di jalanan atau di lokasi wisata, tapi juga bagi para turis yang melanggar aturan ketenagakerjaan nasional. Turis yang bekerja secara ilegal di Bali harus juga ditertibkan sesuai aturan yang berlaku.
Mereka harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan bagi tenaga kerja asing, karena satu lapangan pekerjaan yang mereka kerjakan adalah kehilangan lapangan pekerjaan bagi pekerja lokal yang adalah warga negara Indonesia.
Karena itu, aturan ketenagakerjaan untuk tenaga kerja asing (TKA) harus diterapkan, agar ada ketetapan yang jelas tentang hak dan kewajiban TKA di Bali. Jika perlu, yang memang melanggar aturan lebih dari sekali langsung dideportasi, misalnya.
Sebagai salah satu destinasi wisata kebanggaan bangsa kita tentu sepakat bahwa Bali tidak boleh ‘terbeli’ oleh orang asing dengan terjadinya hal-hal yang justru merugikan kita sebagai bangsa.
Apalagi saat ini, tingkat kunjungan wisata di Bali baru mulai pulih. Angkanya belum benar-benar kembali ke angka prapandemik.
Data dari Badan Pusat Statistik ( BPS) menunjukkan, wisatawan mancanegara (wisman) yang datang langsung ke Provinsi Bali pada Januari 2023 tercatat sebanyak 331.912 kunjungan, turun 12,02 persen dibandingkan periode bulan sebelumnya yang tercatat sebanyak 377.276 kunjungan.
Wisatawan yang berasal dari Australia mendominasi kedatangan wisman ke Bali pada Januari 2023 dengan share sebesar 27,49 persen.
Sementara Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang pada Januari 2023 tercatat baru sebesar 46,16 persen, turun sedalam 7,59 poin jika dibandingkan dengan Desember 2022.
Jika dibandingkan dengan bulan Januari 2022 (y-o-y) yang mencapai 20,71 persen, tingkat penghunian kamar pada Januari 2022 tercatat naik 25,45 poin.
Sementara itu, TPK hotel nonbintang tercatat sebesar 26,99 persen, turun 0,63 poin dibandingkan Desember 2022
Artinya, sampai hari ini, di mana turis-turis acap kali melangkahi aturan yang ada, tingkat kunjungan turis asing belum kembali ke era sebelum pandemik.
Jadi jangan sampai saat potensi wisata Bali kembali ke performa maksimalnya di mana turis asing semakin banyak, justru pelanggaran aturan hukum semakin marak dan lapangan pekerjaan yang semestinya untuk tenaga kerja lokal berpindah tangan ke tangan wisman secara ilegal.