Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Pelarangan Impor Pakaian Bekas, Pecinta "Thrifting" di Semarang Minta Pemerintah Perbaiki Brand Lokal

Kompas.com - 17/03/2023, 23:03 WIB
Titis Anis Fauziyah,
Ardi Priyatno Utomo

Tim Redaksi

SEMARANG, KOMPAS.com - Pernyataan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, soal larangan impor pakaian bekas dan hendak menertibkan bisnis thrifting, menuai respons dari banyak kalangan, khususnya kaum muda penyuka thrifting.

Arina Hasbana (25) menyebutkan kelebihan thrifting ialah, model pakaian terbatas atau limited edition dan tidak pasaran, seperti halnya produk fast fashion yang diproduksi secara massal dan instan.

Namun, Arina kini berhenti menggemari thrifting karena harga produk semakin hari semakin mahal dan tidak masuk akal baginya.

Baca juga: TikTok Bakal Hapus Seller yang Jual Pakaian Bekas Impor di TikTok Shop

Warga Gunungpati itu mengaku setuju dengan kebijakan pemerintah untuk menertibkan bisnis thrifting agar tidak mematok harga seenaknya.

“Jadi aku setuju aja kalau pemerintah dukung industri tekstil, tapi aku enggak mendukung mereka yang bikin fast fashion, karena sama aja to kalau kita melarang impor tapi memproduksi banyak pakaian, jadi limbahnya bakal sama besar sih menurutku,” tegasnya.

Senada, warga Simongan, Elmira Shezan (25) juga turut mendukung kebijakan larangan impor baju bekas, bila memang diimbangi dengan perbaikan brand lokal dalam bisnis industri tekstil di Indonesia.

Untuk itu, ia menilai produsen fesyen lokal perlu meningkatkan kualitas dan tidak mengejar tren sesaat dengan produksi masif dalam fast fashion. Sehingga, pecinta fashion berhenti thrifting dan membeli produk lokal.

“Harusnya produk-produk Indonesia lebih ditingkatkan agar masyarakat Indonesia memiliki daya tarik untuk membeli produk lokal,” ungkap Elmira.

Meski kecewa bila dirinya tak lagi bisa mendapat barang bermerek dari hasil thrifting, Elmira berharap pemerintah serius mengembangkan industri tekstil agar di kemudian hari ia bisa membeli produk bagus dengan harga terjangkau.

Tak jauh berbeda, Zahrina (25), pegawai swasta di Semarang mengaku menggemari thrifting karena kualitasnya jauh lebih baik dibanding pakaian baru jenis fast fashion.

“Misalnya beli pakaian yang harga Rp 35.000 an itu (fast fashion) bahannya jelek banget, panas, kualitas enggak oke sama sekali, terus banyak yang ngembarin lagi, jadi ya mending ngetrift,” bebernya.

Sebagai penyuka thrifting, ia melihat tren itu kini merembet ke produk tas dan sepatu bekas bermerek. Sehingga akan sulit meniadakan bisnis thrifting yang justru semakin diminati.

“Bakal susah sih itu, mesti masih banyak yang umpet-umpetan. Mana sekarang lagi marak banget thrifting, enggak cuma baju, ada sepatu, tas, dan lainnya. Ya gimana ya namanya juga orang Indonesia suka barang bagus harga murah,” tandasnya.

Baca juga: Dilema Pelarangan Thrifting bagi Anak Muda di Semarang: Bakal Susah, Kita Suka Barang Bagus dengan Harga Murah

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com