Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Proyek Food Estate di Kalteng: 600 Hektar Perkebunan Singkong dan Ribuan Hektar Sawah Baru Mangkrak

Kompas.com - 17/03/2023, 15:16 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Demi mencegah ancaman krisis pangan, Presiden Joko Widodo menggagas program Food Estate di berbagai wilayah, termasuk di Kalimantan Tengah. Dua tahun berjalan di Kalteng, hasilnya: gagal. Perkebunan singkong seluas 600 hektar mangkrak dan 17.000 hektar sawah baru tak kunjung panen.

Penelusuran BBC News Indonesia bersama LSM Pantau Gambut menemukan proyek Lumbung Pangan Nasional di wilayah ini hanya memicu persoalan baru, bencana banjir kian meluas dan berkepanjangan, serta memaksa masyarakat Dayak mengubah kebiasaan mereka menanam.

Pejabat Kementerian Pertanian mengakui ada kekurangan dalam pelaksanaan program food estate. Tapi dia mengatakan lumbung pangan di Kalimantan Tengah tak sepenuhnya gagal.

Baca juga: Cegah Kebakaran Hutan, Food Estate di Kalteng Disebut Kementan Jadi Role Model Nasional

Adapun pejabat Kementerian Pertahanan mengeklaim mangkraknya kebun singkong disebabkan ketiadaan anggaran dan regulasi pembentukan Badan Cadangan Logistik Strategis.

Namun, sebutnya, apabila sudah ada kepastian alokasi dana dari APBN Tahun 2023 maka pengelolaan kebun singkong akan dilanjutkan.

Dengan nada bicara tinggi, Rangkap meluapkan kekesalannya tentang hutan di Desa Tewai Baru di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang sebagian telah gundul.

Sebelum berubah jadi kebun singkong, hutan itu adalah tumpuan penduduk setempat mengambil kayu untuk membangun rumah, berburu kancil dan babi, serta mencari ramuan tradisional.

Kini, semua itu hilang. Termasuk lahan seluas empat hektar yang secara turun-temurun ditanami sayur terong, kacang panjang, kundur, dan pohon karet oleh keluarganya.

"Hutan itu bukan tidak pernah diinjak, itu tempat kami orang Dayak ke hutan. Sekarang lihat saja kayak lapangan... siapa yang tidak marah? Sudah berpuluh tahun tanam pohon karet mau disadap kok digusur," ucapnya sewot ketika ditemui BBC News Indonesia di rumahnya awal Februari lalu.

Baca juga: Rangkuman Pidato Politik AHY: Singgung Utang Pemerintah hingga Kritik Food Estate

Pria 53 tahun ini berkata warga tidak pernah diajak musyawarah oleh perangkat desa soal program food estate atau pembukaan kebun singkong.

Hingga pada November 2020, menurut Rangkap, puluhan alat berat yang dikawal tentara tiba-tiba masuk ke hutan.

Kepala Desa Tewai Baru, Sigo, membenarkan pernyataan Rangkap.

Proses sosialisasi, katanya, berlangsung tiga kali pada 2020. Karena situasi kala itu pandemi Covid-19, hanya perwakilan masyarakat yang diundang oleh penanggung jawab proyek yakni Kementerian Pertahanan.

Mereka yang diajak di antaranya seluruh kepala desa di Kecamatan Sepang, damang (kepala adat), mantir (perangkat adat), lurah, bupati, kapolsek dan kapolres.

Di situ disampaikan ada program nasional lumbung pangan singkong yang mencakup empat desa yakni seluas 31.000 hektar--setara dengan setengah luas DKI Jakarta.

Baca juga: AHY Kritik Keras Food Estate dan Perppu Cipta Kerja

Namun tak ada penjelasan lanjutan soal mengapa lahan food estate itu menggunakan hutan produksi di desanya dan mengapa tanaman singkong yang dipilih.

Selaku kepala desa, Sigo mengeklaim tak berani menolak kebijakan dari pemerintah pusat.

"Kami tetap menerima, yang penting program ini terjadi masyarakat inginkan ada tenaga kerja lokal sesuai kemampuan masing-masing. Ternyata fakta di lapangan, sejak lahan dibuka sampai ditanami singkong tidak ada dilibatkan masyarakat satu pun," ujarnya.

Kebun singkong dijaga ketat

Sejumlah alat berat milik Kemenhan dibiarkan terlantar di hamparan kebun singkong yang mangkrak.dokumen BBC Indonesia Sejumlah alat berat milik Kemenhan dibiarkan terlantar di hamparan kebun singkong yang mangkrak.
Apa yang terjadi di dalam kebun singkong, tak ada yang tahu.

Kepala Desa Tewai Baru, Sigo, berkata masyarakat dilarang masuk ke area tersebut. Begitu juga dirinya.

Bahkan untuk meminta kayu yang sudah ditebang pun, katanya, tak boleh.

Suatu kali ia pernah ke sana untuk meminta beberapa batang kayu demi kebutuhan pembangunan kantor desa.

Tapi begitu sampai, katanya, dia dicegat tentara.

Rangkap juga mengalami kejadian serupa. Dia berkisah, waktu itu ia mau mengambil sayur di ladang miliknya. Saat tiba, lahannya sudah habis dibabat.

Baca juga: Mentan SYL Akui Cukup Puas dengan Progres Penanaman Padi di 2 Food Estate di Kalteng

Di lain hari, dia hendak mencari kayu untuk memperbaiki rumah namun dicegah.

"Kayu itu bukan untuk dijual, untuk dipakai kok dilarang? Kayak penjajahan saja," katanya kesal.

Sejak itu, Rangkap tak pernah mau menginjakkan kaki di sana. Sampai di akhir 2021 satu per satu pekerja meninggalkan area itu.

Tak ada informasi dari pekerja kontraktor di kebun singkong kenapa mereka pergi, tutur Sigo. Ia pun tak tahu status program food estate ini dihentikan atau masih berlanjut usai terbengkalai.

Saat BBC News Indonesia melihat kebun singkong itu, tak ada satu pun orang berjaga di sana. Warga sudah leluasa masuk dan keluar dari area tersebut.

Tujuh alat berat termasuk ekskavator teronggok dalam kondisi rusak.

Baca juga: Bantah Food Estate di Kalteng Gagal, Petani di Pulang Pisau: Justru Sejahterakan Masyarakat

Sepanjang mata memandang, kebun singkong seluas 600 hektar itu dibiarkan tandus.

Bekas gundukan tanah yang dipakai untuk menanam singkong hampir rata dan sudah ditumbuhi rumput.

Namun sisa-sisa tanaman singkong yang setahun ditelantarkan masih ada jejaknya.

Batangnya kurus dan pendek tak sampai satu meter. Padahal normalnya pohon singkong memiliki tinggi batang satu hingga empat meter.

Daunnya juga kecil-kecil dan sedikit.

Ketika dicabut, satu pohon hanya berisi dua atau lima singkong sebesar jari telunjuk mirip wortel. Jauh berbeda dari singkong umumnya yang bisa sebesar tangan.

Kepala Desa Tewai Baru, Sigo dan masyarakat sekitar bahkan mengaku tak pernah melihat pekerja memanen singkong-singkong itu.

Baca juga: Bantah Food Estate di Kalteng Gagal, Petani di Pulang Pisau: Justru Sejahterakan Masyarakat

Lahan kebun singkong tidak cocok

Singkong yang ditanam di lahan food estate berukuran kecil mirip wortel.dokumen BBC Indonesia Singkong yang ditanam di lahan food estate berukuran kecil mirip wortel.
Sigo menyebut kebun singkong itu gagal lantaran kondisi tanah yang tidak cocok. Di sana, kata dia, karakteristik tanahnya 70% adalah pasir.

Sementara lahan yang baik untuk menanam umbi kayu adalah tanah yang memiliki struktur gembur, remah, dan punya banyak bahan organik.

Rangkap juga sependapat.

"Dari dulu saya bilang ini namanya Gunung Mas, jangan ditanam macam-macam. Jangan dibalik jadi gunung singkong," ujar Rangkap setengah berteriak.

Kalaupun mau digunakan untuk tanaman singkong, menurut dia, tanah itu harus diolah terlebih dahulu agar subur.

Sebab mustahil singkong tumbuh di atas tanah berpasir, katanya.

"Jadi kalau tanam singkong harus lihat kondisi tanah, benar tidak? Walau bodoh, masyarakat kan tahu kondisi tanahnya."

Baca juga: Kondisi Food Estate di Kalteng, Periset BRIN: Mengubah Lahan Rawa Jadi Produktif Tidak Mudah

"Kalau kayak gini, tanam singkong mandek apa jadinya? Hutan habis, singkong enggak jadi. Siapa yang rugi? Masyarakat yang kena dampaknya."

Sejak hutan dibuka, kata Kepala Desa Tewai Baru, banjir di wilayahnya makin parah. Ketika hujan turun, air Sungai Tambun dan Tambi yang melintasi desa meluap.

Kalau sebelumnya hanya 50 sentimeter, sekarang bisa 1,5 meter lebih.

Ini karena hutan yang telah gundul itu letaknya berada di dataran tinggi dan berfungsi sebagai penyerap air.

Dion Noel, seorang warga Desa Tewai Baru yang rumahnya selalu kebanjiran ingin agar hutan itu dipulihkan.

"Banjir ini enggak enak, makan hati kami. Apalagi kalau banjir di malam hari. Waktunya tidur malah air naik," imbuhnya.

Baca juga: Petani di Kalteng Berhasil Panen Perdana, Food Estate Disebut Mulai Hasilkan Manfaat

Bapak lima anak ini tinggal di dataran rendah Gunung Mas dan persis di pinggir Sungai Tambun yang bermuara ke Sungai Kahayan.

Ia berkata, hujan lebat selama dua jam saja langsung merendam sebagian rumahnya dan baru surut esoknya.

Sudah tak terhitung barang-barang perlengkapan rumah yang hanyut terbawa banjir.

"Kalau kami mau disetop saja kalau bisa, karena kami kena dampaknya."

Food estate padi yang tak kunjung panen

Bekas cetak sawah baru yang dulu digarap masih bisa terlihat meskipun telah dipenuhi semak belukar.dokumen BBC Indonesia Bekas cetak sawah baru yang dulu digarap masih bisa terlihat meskipun telah dipenuhi semak belukar.
Selain singkong, pemerintah juga mengembangkan food estate atau lumbung pangan padi di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau.

Sebagian besar atau sekitar 62.000 hektar area sawah padi yang masuk program itu berada di atas lahan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG).

Wilayah tersebut dipilih karena statusnya bukan lagi kawasan hutan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com