Menengok sejarah ke belakang, kata Kepala Dinas Pertanian Provinsi Kalteng Sunarti, di era pemerintahan Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono area itu menjadi sentra padi.
Meskipun gambut, sambungnya, tapi tidak terlalu dalam. Sehingga tanah di sana, klaimnya, subur lantaran sudah diolah bertahun-tahun oleh warga transmigran.
Baca juga: Cerita Petani Food Estate Humbahas: Benih Bawang Putih yang Dikasih, Mati...
Untuk program ini, penanggung jawab proyek yakni Kementerian Pertanian menggunakan dua metode: intensifikasi dan ekstensifikasi.
Intensifikasi artinya menggenjot produksi padi dari lahan sawah yang sudah ada jadi lebih tinggi lagi.
Sedangkan ekstensifikasi, meningkatkan hasil pertanian dengan cara mencetak sawah baru di atas lahan tidur atau terlantar.
Kalau menurut beberapa pengamat pertanian, food estate semestinya fokus pada upaya ekstensifikasi. Mengingat luas lahan pertanian di Jawa kian menyusut akibat pembangunan.
Data Kementerian Pertanian menunjukkan luasan lahan ekstensifikasi atau cetak sawah baru pada 2021-2022 di dua kabupaten di Kalteng mencapai 17.175 hektar.
Hanya saja, dari ribuan hektar itu belum ada sawah yang bisa dipanen karena "lahan baru dibuka dan ditanam," kata Koordinator Perlindungan Lahan Ditjen PSP Kementan, Dede Sulaeman.
Betulkah seperti itu? BBC News Indonesia menemukan sejumlah persoalan mengapa lahan ekstensifikasi tak kunjung panen.
Baca juga: Dinas TPHP Kalteng Sebut Food Estate Bantu Tumbuhkan Indeks Pertanian dan Ekonomi Petani
Di Desa Mantangai Hulu, Kabupaten Kapuas, Sarianto dan 16 pemilik lahan di sana mengatakan, penyebabnya adalah karena tak ada peran dari dinas pertanian.
Luas lahan milik kelompok tani yang dipimpin Sarianto mencapai 17 hektar.
Pertama kali mereka tahu desanya masuk program food estate sekitar Mei 2021, kata dia.
Lewat pertemuan di kantor desa, perwakilan dari kontraktor dan petugas penyuluh pertanian lapangan menjelaskan bahwa lahan di Desa Mantangai Hulu nantinya akan dijadikan area pertanian food estate.
Masyarakat, menurut petugas penyuluh sebagaimana yang diingat Sarianto, bisa mengusahakan lahan tersebut untuk menanam padi sawah.
Akan tetapi seingat Sarianto, petugas penyuluh tak ada menyinggung manfaat atau hasil program tersebut.
Baca juga: Anak Buah Luhut Tak Setuju soal Food Estate Humbahas Dianggap Gagal
Ia dan anggota kelompok tani menyatakan bersedia lahannya masuk program lumbung pangan.
"Karena ada lahan yang tidak dikelola, dengan food estate ada usaha yang bisa ditunjang. Kami ya, antusias," ucap Sarianto ketika ditemui BBC News Indonesia di rumahnya awal Februari lalu.
Langkah selanjutnya, kata Sarianto, seluruh anggota kelompok tani Pematang Haratak disuruh membuat surat pernyataan.
Isinya pertama, memastikan lahan tersebut tidak tumpang tindih kepemilikan.
Kedua, seluruh kelompok tani bersedia mengusahakan sawah food estate dan tidak mengalihfungsikan sejak surat pernyataan dibuat.
Ketiga, seluruh anggota tidak akan pernah melakukan transaksi jual-beli lahan yang dijadikan sawah food estate.
Terakhir, jika ada tanaman yang ada di atas lahan yang akan dijadikan lokasi sawah food estate, mereka tidak akan menuntut ganti rugi.
Di penghujung surat tertulis apabila seluruh anggota kelompok tani tidak menepati pernyataan ini maka mereka bersedia menerima sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Kira-kira Juli sampai Agustus 2021, menurut Sarianto, eskavator didatangkan ke desa untuk menggarap 17 hektar lahan rawa gambut yang selama ini terlantar.
Semak belukar dibabat habis dan batas pematang sawah dibuat. Tapi selesai garap lahan, dia mengatakan, tak ada kelanjutan apa-apa.
Tak ada juga pelatihan kepada para petani bagaimana menanam padi sawah. Padahal, kata Sarianto, hal itu penting karena mereka tak punya pengetahuan tentang itu.
Sepanjang hidupnya, ia hanya pernah menanam padi ladang yakni dengan cara membakar lahan.
"Prosesnya seperti apa belum pernah [ada pelatihan] sampai sekarang. Selama ini kami terbiasa menanam padi ladang dengan mengandalkan hasil pembakaran lahan sebagai pupuk," jelas Sarianto.
Baca juga: DPR RI Nilai Pengembangan Food Estate Humbahas Belum Optimal
"Kalau padi sawah prosesnya panjang dan perlu banyak pupuk, makanya harusnya pendampingan penting."
Persoalan lain, infrastruktur pertanian seperti irigasi tak juga dibikin.
Jangan bayangkan lahan di Kalimantan serupa dengan lahan di Jawa. Di Kalimantan Tengah, ladang mereka berada di rawa pasang surut. Ada waktu-waktu tertentu air akan surut dan petani baru bisa menanam bibit padi.
Karena itulah petani sangat berharap dinas pertanian membuat irigasi agar bisa mengatur air.
Tujuh bulan berselang, bantuan benih, pupuk, kapur dolomit, obat pembasmi rumput baru datang yaitu sekitar Maret 2022 dan akhirnya tak terpakai, kata Sarianto.
"Tidak mungkin membasmi rumput kalau terendam air. Ada yang bilang bibit bisa hidup di air, tapi enggak masuk di akal kami."
"Makanya kegagalan ini tidak ada kesalahan dari anggota. Karena dari sana tidak melakukan pelatihan. Harusnya kami dilatih dulu, bagaimana musimnya, bulan apa yang cocok."
Baca juga: Beralihnya Tim Pengelolaan Food Estate Humbahas dari Kementan ke Kemenko Marves
Saat BBC News Indonesia datang ke lokasi ekstensifikasi itu, bekas cetak sawah baru yang dulu digarap masih bisa terlihat meskipun telah dipenuhi semak belukar.
Kata Sarianto, kalau ingin menggarap ladang ini menjadi sawah padi maka prosesnya harus diulang dari awal lagi.
Perlu diketahui, program serupa pernah dijalankan oleh mantan presiden Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono di Kalteng. Namun tak ada yang berhasil.
"Penyebabnya karena kajian yang sangat kurang dalam hal kesesuaian lahan dan kondisi sosial masyarakat di Kalteng," ujar Bayu.
Menurut Bayu, menanam padi di atas lahan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG) adalah tindakan serampangan.
Sebab fungsi gambut sebagai pengatur siklus air justru dieksploitasi sehingga terjadi kekeringan dan belakangan memicu kebakaran lahan.
Baca juga: Mentan SYL Bantah Food Estate Kalteng Gagal
Kini, pemerintah tak cuma mengobrak-abrik gambut tapi merembet ke kawasan hutan yang menjadi lokasi kebun singkong.
Padahal hutan itu adalah habitat orang utan.
"Di sana salah satu wilayah yang tutupan hutannya masih bagus dan itu jadi koridor orang utan," ujarnya.
Sejumlah warga yang tinggal di sekitar kebun singkong membenarkan ucapan Bayu. Beberapa kali mereka melihat dua orang utan dewasa melintas di hutan itu.
Dalam hal kondisi sosial masyarakat, sambungnya, orang Dayak sebetulnya sudah punya pola pertanian yang sesuai dengan kearifan lokal mereka.
Sehingga mereka tahu betul mana lokasi yang bisa dijadikan lahan pertanian.
Sayangnya, dia menyebut, program food estate ini mengabaikan peran penduduk lokal termasuk pengetahuan mereka.
"Masyarakat di sini pola pertanian sawah belum dekat. Kalaupun ada itu bukan orang lokal tapi transmigran."
Baca juga: Kritik Soal Food Estate, Ketua Komisi IV DPR: Datanya di Mark Up oleh Kementan
"Penduduk setempat terbiasa berladang dengan membakar lahan. Tapi kalau terjadi kebakaran, mereka yang disalahkan. Padahal mereka paling punya lahan dua sampai tiga hektar saja."
Apa yang terjadi sekarang, menurut Bayu, masyarakat lokal dipaksa menjalankan praktik menanam yang berbeda dari kebiasaan dan itu bukan perkara sederhana.
Butuh proses yang panjang untuk berubah.
Persoalan lain mengapa program ini kandas, katanya, benih yang diberikan ke petani lokal tidak sesuai dengan pengetahuan mereka, semisal siam munus atau siam mayang.
Benih untuk food estate menggunakan varietas Inpari 42 dari Kementan.
Pengalaman pertama Abdul Hadi menanam bibit Inpari 42 di dua hektar sawah milik kelompoknya di Desa Talekung Punei, Kapuas, tak begitu memuaskan.
Baca juga: Gubernur Sabran Sebut Food Estate di Kalteng Bantu Perkuat Pangan Indonesia
Sudah umur bibitnya lebih pendek dari usia bibit lokal, begitu tumbuh diserang hama tungro dan gosong leher.