"Kesulitan mewariskan dan melatih anak gadis di kampung ini yakni mereka mengenyam pendidikan SMA di perkotaan. Selain itu anak gadis tidak banyak yang berminat menenun lagi," jelasnya.
Regina menjelaskan, khusus untuk Kampung Wangkar, ada kurang lebih 100 perempuan penenun kain tenun Puncatiti.
Baca juga: Cerita di Balik Kain Tenun Kamohu, Dibuat Perempuan di Bawah Rumah Panggung
Sedangkan penenun lainnya, Petronela Evi menjelaskan pada zaman dulu, empat kain tenun puncatiti bisa ditukar dengan seekor kuda untuk keperluan adat istiadat. Selain itu, kain tenun puncatiti bisa tukar dengan sebidang tanah.
"Kain tenun puncatiti di zaman dulu bahannya dari olahan kapas sehingga tidak luntur saat dicuci, beda dengan bahan benang yang beli di toko, kainnya bisa luntur saat dicuci," jelasnya.
Para penenun kain berharap lembaga pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas melatih siswi untuk menenun kain tenun puncatiti supaya warisan ini terus menerus berlanjut bagi generasi berikutnya.
"Kami sangat khawatir dengan usia kami saat ini bahwa suatu saat kain tenun puncatiti hilang. Apalagi anak gadis masih belajar di sekolah yang jauh dari Kampung Wangkar," harapannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.