CONGKAR, KOMPAS.com– Anastasia Ninging (50), Regina Inus (54), dan Petronela Evi (46) duduk sambil merentangkan kaki di lantai semen di sebuah rumah di Kampung Wangkar, Desa Ranamese, Kecamatan Congkar, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Jemari mereka bergerak lincah di atas alat penenun dari kayu dan bambu.
Baca juga: Kain Tenun Gringsing, Satu-satunya Tenun Ikat Ganda Asli Indonesia
Tiga perempuan tersebut sedang membuat kain tenun Puncatiti. Keterampilan menenun kain Puncatiti ini diwariskan oleh orang-orang terdahulu di Kecamatan Congkar, Manggarai Timur.
Selain untuk keperluan adat, banyak masyarakat setempat menggantungkan hidup dari menenun kain Puncatiti.
"Saya biasa dedang (menenun) kain tenun Puncatiti pada pagi hari dan sore hari. Sebelum berangkat kerja di sawah dan kebun, saya bangun subuh untuk dedang. Kemudian saya melanjutkan pada sore hari," ujar Anastasia Ninging kepada Kompas.com, Senin (14/3/2023).
Baca juga: Hindari Klaim Negara Lain, Wagub NTT Minta Kain Tenun Didaftarkan ke Kemenkumham
Anastasia menjelaskan, pekerjaan pokoknya adalah bekerja di kebun dan sawah, sedangkan menenun merupakan kerja sampingannya.
"Kalau ada orang yang pesan kain Puncatiti, baru saya kerjakan pesanan tersebut," jelasnya.
Namun menurutnya, ada pula masyarakat yang hanya bekerja menenun kain.
Anastasia menjelaskan, dia belajar membuat kain tenun Puncatiti dari sang ibu semenjak tamat dari Sekolah Dasar (SD).
Bermula melihat tangan sang ibu bekerja, Anastasia mulai praktik hingga tangannya piawai menenun.
Satu kain tenun Puncatiti bisa diselesaikan dalam dua minggu atau satu bulan tergantung waktu kosongnya.
"Awalnya saya melihat mama menenun. Saya duduk di sampingnya. Jadi melihat sambil belajar. Di saat itulah mama mengajarkan saya cara dedang kain tenun puncatiti, hingga saya bisa menenun seperti sekarang ini," jelasnya.
Saat ini, lanjut Anastasia, ia bisa menghasilkan dua kain tenun puncatiti dalam sebulan.
Selama dua minggu menghasilkan satu kain, tergantung waktu kosong," jelasnya.