SEMARANG, KOMPAS.com - Ratusan massa yang sebagian besar perempuan menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor DPRD Jateng dengan membawa delapan tuntutan. Utamanya mendesak pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).
Aksi tersebut sekaligus memperingati International Women Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada setiap tanggal 8 Maret itu.
Masa aksi yang tergabung dalam Aliansi International Women's Day Semarang itu datang ke Jalan Pahlawan dengan membawa berbagai spanduk dan poster.
Baca juga: Koalisi Sipil: Kita Menambah PRT Korban Kekerasan jika RUU PPRT Ditunda Lagi
Banyak bertebaran poster bergambar Ketua DPR RI Puan Maharani bertuliskan "Seribu PeremPUAN Mencari Mbak PUAN".
Sebagian juga menggunakan atribut serbet di atas kepala dan menggunakan masker yang diberi tanda silang sebagai simbol aksi diam. Puluhan PRT yang turun aksi juga berbekal peralatan dapur seperti wajan dan spatula.
"Aksi diam itu, karena dari tahun kemarin pada saat peringatan IWD tuntutan kita belum juga didengarkan oleh pemerintah. Ini bentuk kemuakkan kita dan kemarahan kita karena seakan-akan suara kita tidak didengar dari kemarin. Jadi kita muak," kata Korniator Aksi, Salsabila Dea, Rabu (8/3/2023).
Salsa menyebut aksi itu berangkat dari kesadaran kolektif jaringan International Women's Day (IWD) di Semarang.
Sekitar 150 peserta aksi berasal dari buruh perempuan, dari perempuan nelayan, juga dari temen-temen pekerja rumah tangga, dan lain sebagainya.
"Tuntutannya untuk segera mengesahkan UU Pekerja Rumah tanga (PRT) karena sudah 19 tahun mangkrak di gedung DPR,” ungkapnya.
Baca juga: Koalisi Sipil Tuntut RUU PPRT Disahkan: Mbak Puan, Sudah 19 Tahun, Apa yang Sulit?
Mereka juga menolak Perpu turunan dari Cipta Kerja. Lalu menuntut percepatan pengadaan aturan turunan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Salah satu masa aksi, Listiyo (64) warga Cinde Lama mengaku tergerak mengikuti aksi ini untuk membela kaum perempuan.
Pasalnya, wanita paruh baya itu masih merasakan diskriminasi dari perlakuan masyarakat di sekitarnya dan hukum di pemerintahan.
Lis mengaku pernah menjadi korban KDRT pada tahun 2000 oleh suaminya. Kejadian itu membuatnya mengalami gangguan pendengaran sampai sekarang.
"Saya korban KDRT tahun 2000 sampai sekarang tidak ada tindakan, karena pelaku sudah meninggal. Padahal tahun 2000 sampai sekarang kan sudah 22 tahun, tapi masih keinget terus. Tapi yang saya rasakan sampai sekarang, Kelima anakku 4 laki-laki dan 1 perempuan tidak begitu baik, baik hanya lahire tok tapi tidak batinnya," ungkapnya.
Baca juga: Peringati Hari Perempuan Internasional, Massa Tuntut DPR Sahkan RUU PPRT
Adapun tuntutan yang dibawa pada aksi hari ini antara lain adalah, Negara harus mengakui pekerjaan domestik dan kerja perawatan sebagai kerja produktif yang bernilai ekonomi dan bermanfaat bagi masyarakat.
Mendesak Puan Maharani untuk mengesahkan RUU PPRT dan RUU Masyarakat Adat dan hentikan diskriminasi berbasis gender dan seksualitas.
Tolak Perppu Cipta Kerja dan cabut Omnibus Law serta PP turunanny, Fasilitasi tempat penitipan anak (daycare) bagi anak pekerja perempuan dan ruang laktasi bagi pekerja perempuan.
Kemudian Implementasikan UU TPKS dengan membangun sistem perlindungan yang komprehensif di berbagai level, Percepat adanya aturan turunan UU TPKS, Ratifikasi Konvensi ILO No. 190 tentang Kekerasan Seksual di Dunia Kerja.
Ciptakan ruang aman dan kebebasan berekspresi bagi keberagaman gender dan seksualitas di Indonesia, khususnya di Jateng, Negara segera membuka ruang aktivitas yang aman untuk petani perempuan di Papua dan menarik aparat dan Stop kriminalisasi dan represifitas aparat terhadap aktivis perempuan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.