Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Intensitas Hujan Tinggi sebagai Kambing Hitam Bencana

Kompas.com - 07/03/2023, 15:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dengan peningkatan jumlah penduduk yang begitu pesat dengan alih fungsi lahan resapan untuk pemukiman, industri dan infrastruktur yang masif, tanpa dibarengi dengan sistem drainase yang memadai, menyebabkan air hujan yang jatuh kebumi terperangkap dalam satu tempat yang tidak dapat mengalir kemana-mana.

Harian Kompas, Jumat (3/03/2023), memberitakan bahwa “Kabupaten Bekasi Sepekan Direndam Banjir”. Tingginya curah hujan dan buruknya drainase dituding sebagai penyebab terjadinya banjir.

Banjir sepekan tersebut berdampak pada lebih dari 100.000 jiwa dan berbagai aktivitas publik terganggu.

Hunian warga yang terendam air bah di Desa Karangsentosa, Kecamatan Bahagia, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (2/3/2023), merendam daerah tersebut sejak Jumat (24/2/2023), dengan ketinggian 30 cm hingga 100 cm.

Banjir yang merendam perumahan selama seminggu itu adalah bencana paling parah dalam lima tahun terakhir di kawasan tersebut.

Banjir di Bekasi tak semata- mata karena curah hujan dengan intensitas tinggi. Banjir juga terjadi lantaran sistem dranaise, mulai dari permukiman, anak sungai, hingga sungai, belum terintegrasi dalam satu sistem dengan baik dan memadai dari hulu hingga hilir.

Persoalan lain adalah pengembang (developer) perumahan baru belum seluruhnya memenuhi pelaksanaan peil (pengaturan ketinggian minimal lantai bangunan berdasarkan lokasi bangunan) banjir dari izin yang dipersyaratkan.

Ringkasanya adalah aturan tata ruang untuk daerah serapan, ruang terbuka hijau (RTH), normalisasi sungai tidak ditaati dan seringkali dilanggar.

Demikian juga dengan daerah hulu, alih fungsi hutan atau tutupan hutan masih sering terjadi, bahkan di kawasan lindung sekalipun.

Upaya pemulihan yang dilakukan di daerah hulu baik melalui pencegahan maupun rehabilitasi dengan revegetasi tanaman kayu-kayuan belum banyak membuahkan hasil meski telah dilakukan selama puluhan tahun.

Intensitas hujan yang tinggi merupakan salah satu faktor dari banyak faktor yang menyebabkan terjadinya banjir. Lagi pula curah hujan merupakan faktor yang bersifat tetap (konstanta) yang tidak dapat diubah (given).

Sementara faktor lain seperti alih fungsi hutan, tutupan hutan, perlindungan resapan air, ruang terbuka hijau (RTH), pengaturan sistem drainase yang memadai, normalisasi sungai, konsistensi tata ruang dan sejenisnya adalah faktor yang dapat diubah oleh manusia (variabel), kapan dan di manapun dibutuhkan manusia.

Jadi tidak bijak apabila selama ini oleh beberapa pihak, intensitas hujan yang tinggi dikambing hitamkan sebagai faktor tunggal terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, dan tanah longsor.

Pandangan ini harus segera diubah. Ulah dan faktor manusia yang banyak mengubah bentang alam (landscape) secara masif, sistimatis, massal dan luaslah mulai dari hulu sampai ke hilir yang mendatangkan bencana hidrometeorologi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com