KOMPAS.com - Peristiwa Mount Felix adalah sebuah gerakan perlawanan rakyat Bengkulu kepada tentara Inggris yang terjadi pada tahun 1807.
Jejak sejarahnya terekam pada bangunan cagar budaya yang juga menjadi ikon kota Bengkulu, yaitu sebuah tugu bernama Tugu Thomas Parr di dekat Benteng Marlborough.
Baca juga: Bunga Rafflesia Berkelopak 6 Mekar di Seluma Bengkulu
Mount Felix adalah sebutan orang Inggris untuk menyebut kawasan perbukitan yang berada sekitar 25 km di sebelah utara pusat Kota Bengkulu.
Adapun masyarakat pribumi kala itu menyebut kawasan tersebut dengan nama Bukit Palik.
Baca juga: Benteng Marlborough: Sejarah, Fungsi, dan Rute Tercepat Menuju Lokasi
Peristiwa ini terjadi saat Bengkulu atau yang dikenal juga dengan nama Bencoolen sempat menjadi bagian dari daerah Kesultanan Banten.
Saat itu, perjuangan bersifat lokal memang kerap terjadi sebagai akibat dari penolakan kedatangan pasukan Inggris yang keji dan kejam.
Baca juga: 7 Daftar Oleh-oleh Khas Bengkulu, Salah Satunya Batik Besurek
Kedatangan pasukan Inggris ini di bawah Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Britania (East India Company atau EIC).
Kedatangan pasukan Inggris ke Bengkulu yang berlabuh di muara sungai Bengkulu mulanya disambut baik oleh masyarakat.
Saat itu pasukan Inggris belum menetap, namun hanya datang dan pergi sewaktu-waktu.
Hingga sebuah kapal dagang Inggris berlabuh di depan muara sungai Bengkulu, yang kemudian disambut oleh Rakyat Kerajaan Sungai Lemau dan Kerajaan Silebar.
Setelah terjadi perbincangan, maka disepakati bahwa pasukan Inggris dapat menetap dan melakukan perniagaan secara bebas.
Kemudian terjadi satu perjanjian di mana Pangeran Raja Muda dari kerajaan Sungai Lemau dan Ralp Ord sebagai wakil dari pihak Inggris menyepakati pemberian monopoli dalam perdagangan lada dan segala macam hasil hutan lainnya hanya kepada Inggris.
Silih berganti kepemimpinan residen di Bengkulu mulanya dijabat oleh Walter Ewer (1800-1805) dan kemudian digantikan oleh Thomas Parr (1805-1807)
Sayangnya gaya kepemimpinan Thomas Parr yang kejam dan sombong menyakiti hati rakyat Bengkulu
Thomas Parr meminta bantuan kerja sama kepada pihak EIC untuk menetapkan denda bagi rakyat yang tidak menurut perintah.
Ia juga meminta perkebunan Pala dan Cengkeh kepunyaan EIC agar diperluas dengan cara paksaan, termasuk memaksa rakyat Bengkulu menanam kopi oleh dengan cara yang kejam.
Thomas Parr juga membuat perubahan besar dalam peradilan pribumi tanpa persetujuan atau meminta nasehat dari Kepala Adat di Bengkulu.
Bahkan ia tidak segan mencopot gelar para pemimpin dan pemuka adat yang tentunya memicu ketegangan di kalangan atas.
Saat itu rakyat yang tidak patuh disiksa dan dilecehkan sehingga menyinggung rakyat dan lembaga adat di Bengkulu dan menyulut perlawanan.
Munculnya kesatuan orang-orang Bengkulu dalam barisan-barisan bersenjata membuat Adipati dari Dusun Besar berusaha mengundang Thomas Parr untuk bertukar pikiran.
Namun Thomas Parr tidak hadir dengan alasan enggan untuk datang, tanpa menyangka akibatnya.
Di sisi lain, Inggris menyangka semangat perlawanan rakyat sudah lumpuh karena ekspedisi Letnan Hastings Dare ke daerah Ipuh, Muko-muko dan kedalaman sekitarnya telah berhasil membunuh sekian banyak rakyat yang mengadakan perlawanan.
Di Bintuhan, rakyat telah menyerbu Kantor Kompeni Inggris yang dibakar habis, yang kemudian membuat setiap kantor Kompeni Inggris langsung dijaga oleh serdadu-serdadu Sipai, Benggala dan Bugis.
Menyadari ketidakpuasan masyarakat Bengkulu terhadap perintah penanaman kopi dan merasa perlawanan mulai berbahaya, maka Thomas Parr mengambil tindakan untuk segera membatalkan kebijakan.
Sayangnya pengumuman untuk membatalkan perintah menanam kopi tersebut tidak sampai pada waktunya kepada rakyat suku Lembak di Sungai Hitam, Dusun Besar, Sukarami, Lagan dan lain-lain.
Di sisi lain, persiapan untuk melepaskan diri penindasan dan melakukan perlawanan sudah matang dan mencapai puncaknya.
Pada tanggal 27 Desember 1807, rakyat Bengkulu mengadakan rapat perang dengan bersumpah setia diantara Adipati Sukarami, Dusun Besar dan para pengikutnya, serta masyarakat Bengkulu lainnya untukmenghabisi nyawa Thomas Parr.
Malam harinya, di bawah pimpinan Rajo Lelo,Pangeran Natadirja III dan Adipati Sukarami sebagai panglima perang, rakyat Bengkulu langsung menyerbu ke tempat peristirahatan Thomas Parr di Mount Felix.
Barisan bersenjata rakyat Bengkulu yang terdiri berbagai suku yang kurang lebih berkekuatan 300 orang mengawali serangan dengan melumpuhkan para tentara pengawal.
Kemudian tiga orang pemimpin perang tersebut mulai masuk ke kamar tidur Thomas Parr.
Asisten Residen Charles Murray yang saat melindungi atasannya dapat disingkirkan dan terluka namun namun tidak dibunuh oleh ketiga pemimpin perang.
Begitu juga nasib istri Thomas Parr yang menjadikan dirinya sebagai perisai suaminya juga tidak dibunuh tetapi hanya terluka dan dapat disingkirkan.
Kemudian tanpa membuang-buang waktu, ketiga pemimpin perang tersebut langsung menyerang Thomas Parr yang tewas dengan cara tragis.
Semua itu dilakukan tanpa mengusik Murray, istri Thomas Parr dan juga anak-anak mereka.
Bagi pemerintah kolonial Inggris, bagaimanapun juga Thomas Parr tetap dianggap sebagai pahlawan karena jasa dan pengabdiannya.
Pihak EIC kemudian mendirikan sebuah tugu peringatan atas kematian residennya pada peristiwa tersebut.
Bentuk bangunan seperti tugu ini memiliki ruangan dengan tiga buah pintu masuk berbentuk setengah lingkaran dengan enam buah pilar di sudut-sudut bangunan dengan berbentuk segi delapan.
Tugu Thomas Parr memiliki tangga naik yang landai dengan lantai ubin warna merah diseluruh bagian kaki bangunan.
Orang-orang Inggris menyebut dengan nama Parr Monument, sedangkan kelompok elite pribumi Bengkulu menyebutnya sebagai Taman Raffles (Raffles Park).
Sementara masyarakat Bengkulu mengenal tugu ini sebagai Tugu Pahlawan Tak Dikenal atau Kuburan Bule.
Pasca peristiwa tersebut, kependudukan Bengkulu diambil alih oleh residen pengganti yang ditunjuk Thomas Stamford Raffles.
Namun nyatanya kondisi yang dihadapi masyarakat Bengkulu tidak kunjung membaik karena suasana menjadi penuh ketegangan.
Dibawah pemerintahan residen Richard Parry (1808-1810) kompeni Inggris
juga masih mengalami berbagai macam kesulitan.
Penjajahan Inggris ini berakhir setelah terjadi penyerahan Bengkulu dari tangan Inggris ke Belanda yang dilakukan sebagai hasil Traktat London yang ditandatangani pada 17 Maret 1824.
Saat itu Inggris menyerahkan Fort Marlborough di Bengkulu dan semua kepemilikannya di Sumatera kepada Belanda.
Sumber:
kebudayaan.kemdikbud.go.id
repositori.kemdikbud.go.id
jom.unri.ac.id
tribunnews.com
bengkulu.tribunnews.com
regional.kompas.com (Penulis : Kontributor Bengkulu, Firmansyah)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.