Sehingga diputuskan untuk menyerang kapal De Zeven Provinciën tepat sebelum mereka memasuki Selat Sunda.
Konfrontasi terhadap pemberontakan di Kapal De Zeven Provinciën terjadi pada hari Jumat, 10 Februari 1933 yang dilakukan dari udara.
Pesawat Dornier D 11 kemudian menjatuhkan bom 50 kg dari ketinggian 1.200 meter yang mengenai titik di dekat anjungan De Zeven Provinciën dan langsung meledak.
Akibat serangan Pesawat-Dornier D 11, De Zeven Provinciën mengalami kerusakan pada beberapa bagian meski tidak cukup berat.
Namun korban jiwa dalam penyerangan tersebut cukup banyak akibat ledakan bom yang menghantam bagian geladak.
Sebanyak 19 orang tewas yang terdiri dari 3 orang Eropa dan 16 pribumi, termasuk di antaranya Paradja dan beberapa pemuka pemberontak.
Selain itu 11 orang luka berat yang terdiri dari 3 orang Eropa dan 8 orang pribumi, di mana empat orang di antaranya kemudian tewas.
Ada juga tujuh orang yang luka ringan, yaitu 2 orang Eropa dan lima orang pribumi.
Kapal De Zeven Provinciën kemudian menyerah dan berlayar menuju pulau Onrust, di mana para pemberontak ditahan di dalam bekas gedung karantina.
Adapun korban tewas dari awak Indonesia dimakamkan di Pulau Kerkhof; awak Eropa di Pulau Purmerend.
Selanjutnya, pada tahun 1933 para pemberontak dihadapkan dengan pengadilan militer.
Para awak Indonesia dijatuhi hukuman penjara antara 6 tahun sampai dengan 18 tahun, sementara awak Eropa, awalnya dijatuhi hukuman penjara antara 4 tahun sampai dengan 16 tahun.
Dalam pengadilan banding awak Eropa kemudian mendapat pengurangan hukuman.
Sementara dikutip dari laman Universitas Malahayati, Dampak dari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi antara lain:
1. Gubernur Jenderal De Jonge mendapat dari berbagai pihak karena kebijakan yang diambil, termasuk dari kelompok orang Eropa yang ada di Hindia Belanda.
2. Kaum Nasionalis menjadi kambing hitam terhadap terjadinya peristiwa pemberontakan tersebut, karena pemerintah Hindia Belanda menjadi lebih ketat lagi dalam, mengawasi kegiatan kaum nasionalis.
3.Campur tangan pemerintah terhadap semua partai politik yang ada di Hindia Belanda semakin dalam.
4. Sejumlah media massa dibredel, pimpinan redaksinya ditahan, dan pergerakan nasional diberangus.
Sumber:
malahayati.ac.id
penerbit.brin.go.id