Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sapto Waluyo
Dosen

Sosiolog dan Pendiri Center for Indonesia Reform (CIR)

Fajar Sadboy dan Cermin Buram Masyarakat Indonesia

Kompas.com - 03/02/2023, 13:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam usia relatif muda, sangat terlihat upaya kerasnya untuk mengendalikan diri (self control), sambil sesekali menunjukkan jati diri sebenarnya (genuine identity).

Ironisnya, mayoritas influencer dewasa mengeksploitasi keluguan dan kerapuhan (fragility) serta kerentanan (vulnerability) dalam konteks percintaan (cinta monyet).

Padahal, Fajar telah memperlihatkan potensi dan kecerdasannya dalam berbahasa (language intelligence) dan “kearifan” seorang remaja kampung, sekaligus kemampuan menghibur (entertaining).

Hubungan Fajar dengan rekan putrinya, Putry Diyana Cahaya Akub alias Ayya bukan isu yang pantas dieksploitasi atau dikomersialisasi.

Dari perlakuan terhadap Fajar, masyarakat juga bisa bercermin: apakah memang begitu karakter dan selera masyarakat Indonesia?

Dalam konteks itu, peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjadi penting untuk menakar: mana tayangan yang pantas dan tidak pantas untuk usia anak dan remaja?

Kehadiran Fajar di dunia medsos mirip dengan sosok lain yang lebih dewasa, yakni Livy Renata, yang berkarakter lugu: seorang gadis yang dibesarkan di mancanegara dan mulai belajar budaya Indonesia.

Livy yang berkolaborasi dengan komika Nopek Novian tampaknya telah memilih keluguan yang dieksploitasi (exploited innocence or plainness) sebagai branding komersial.

Itu sudah murni dagang, strategi marketing era medsos. Tetapi, untuk Fajar masih terbuka alternatif: pengembangan potensi karir dan pencarian jati diri.

Tampilan Fajar dikritik banyak pihak, padahal orang dewasa juga mempraktikkan dramaturgi (seperti dirumuskan Erving Goffman) dalam kancah politik dan selebritis.

Politisi dan selebritis bermain peran di depan panggung (front stage) yang berbeda dengan tampilan asli di belakang panggung (back stage). Hiprokisi politik dan manipulasi selebritas jelas lebih berbahaya daripada keluguan Fajar.

Sudah banyak korbannya dalam kompetisi politik (tatkala seorang tokoh berwajah ndeso bisa jadi pemimpin negeri) maupun manipulasi ekonomi (fenomena crazy rich atau sultan) yang merugikan banyak orang.

Masyarakat menjadi korban dari kultur yang sakit, tapi dibingkai dengan argumentasi ekonomi kreatif.

Kabar terkini, ayah Fajar melarang anaknya untuk kembali ke Jakarta, setelah hampir sebulan memporak-porandakan algoritma trending medsos. Erol Labatjo ingin “menjaga nama baik keluarga”, suatu norma yang masih kuat tertanam di Gorontalo.

Semoga Fajar bisa menemukan jalan terbaik untuk pengembangan potensi dirinya yang istimewa.

Ironi yang harus kita hadapi saat ini, Fajar atau Roy dan Bonge adalah remaja putus sekolah (SD/SMP). Apakah sekolah sedemikian mahal ongkosnya, sehingga tidak mampu menampung dan menumbuhkan bakat-bakat besar?

Ataukah justru sebaliknya, bakat anak dan remaja Indonesia menjadi lebih berkembang di luar lingkungan sekolah?

Sekolah telah berubah menjadi penjara. Fenomena Fajar benar-benar menjadi cermin buram tentang kondisi masyarakat Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com