KOMPAS.com - Biasanya jelang perayaan Imlek atau Tahun Baru China, masyarakat Tionghoa di Indonesia akan merayakannya dengan berbagai pertunjukkan.
Selain pertunjukkan barongsai, ternyata ada pula pertunjukkan kesenian yang telah melegenda bernama Wayang Potehi.
Baca juga: Toleransi di Semarang, Pementasan Wayang Potehi di Halaman Masjid Kauman
Wayang Potehi adalah seni pertunjukan panggung boneka yang biasanya dimainkan oleh satu tim yang terdiri atas lima orang, yaitu satu orang dalang, tiga orang pemain musik, dan satu orang asisten.
Di Indonesia, kesenian Wayang Potehi ini sangat lekat dengan budaya masyarakat Tionghoa.
Baca juga: Dari Wayang Kulit ke Wayang Potehi
Dalam perkembangannya, dalang Wayang Potehi yang biasa disebut Seho tidak hanya memainkannya dengan menggunakan Bahasa Hokkian saja.
Ada pula Wayang Potehi yang dimainkan dengan Bahasa Melayu yang dicampur dengan istilah-istilah dalam Bahasa Hokkian.
Dilansir dari laman interaktif.kompas.id, asal nama Potehi berasal dari bahasa Hokkian yang terdiri dari kata "pou" yang memiliki arti kain, "te" berarti kantong, dan "hi" artinya wayang.
Dengan demikian, Wayang Potehi adalah wayang yang berbentuk layaknya boneka tangan dan berbahan kain.
Potehi berakar pada sebuah seni pertunjukkan boneka di Zhengzhou, Provinsi Fujian di zaman Dinasti Han pada tahun 206-220 Masehi.
Kemudian pada masa Dinasti Jin di tahun 265-420 Masehi, Potehi digunakan para tahanan yang menanti hukuman di penjara untuk menghibur diri.
Potehi sendiri berkembang pesat di China pada masa pemerintahan Kaisar Ming Huang antara tahun 713-756 masehi.
Sementara menurut catatan sejarah, kesenian ini sudah ada di Pulau Jawa sejak masa Dinasti Ming atau sekitar abad ke-16.
Wayang Potehi disebutkan dalam naskah Malat dan nawaruci dengan allangkarn mwang awayang China atau Wayang China.
Kesenian ini dibawa oleh perantau etnis Tionghoa ke berbagai wilayah Nusantara dan kini telah menjadi salah satu jenis kesenian tradisional Indonesia.
Wayang Potehi bagi masyarakat Tionghoa tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, namun juga sebagai bagian dari ritual di klenteng atau vihara.