SEMARANG, KOMPAS.com - Siti Kusbandiyah telah menjadi tukang rosok di Semarang sejak 20 tahun silam, saat dirinya berusia 40 tahun.
Pasalnya, perempuan yang akrab disapa Mak Siti itu pada usia 35 tahun harus membesarkan keempat anaknya. Suaminya meninggal akibat gagal ginjal, sedangkan anak terakhir kala itu masih dalam kandungannya.
Kompas.com mendatangi kediamannya di Kelurahan Sawah Besar, Gayamsari, Kota Semarang. Lantaran hujan deras mengguyur selama berjam-jam, Mak Siti tidak bisa menjemput sampah dan memutuskan memilah sampah di Rumah.
Baca juga: Atasi Kemiskinan Jateng, Ganjar Tambah Nilai Bantuan 12.764 Pemilik Kartu Jateng Sejahtera
Pintu rumahnya terbuka. Dari luar terlihat tumpukan kardus dan jenis sampah lainnya memenuhi ruangan. Mak Siti menyapa dengan ramah seperti seorang kawan lama. Ia pun menceritakan kisahnya sembari memisahkan kardus.
Duduk di atas kasur kempis menyimak kisak Mak Siti, terlihat ruang itu hanya disekat dua lemari tua dengan perabot tertutup debu. Televisinya pun masih mengandalkan saluran kabel dan berbentuk kubus 'berkonde' seperti televisi lama.
“Pertama aku jualan ayam ndak lancar, jualan martabak di TK ndak lancar, jual makanan matengan gagal juga. Akhirnya ikut bos rosok 2 bulan, belajar milah sampah di sana,” ungkap Mak Siti, Jumat (20/1/2023).
Usaha jualan makanan gagal lantaran dirinya tak memiliki alat memadai seperti kulkas. Bagi perempuan yang bakal menginjak umur 61 tahun itu, pekerjaan mencari rongsokan cocok baginya karena sampah yang dikumpulkannya tidak membusuk.
Mengawali pekerjaannya, Mak Siti berkeliling dari Jalan Mataram sampai Simpang Lima Semarang. Setiap warung yang dilewati, ia tanya satu persatu untuk diambil sampahnya.
“Pas anak-anak masih sekolah saya ambil sampai Majapahit, Pedurungan, Telogosari, demi bayar sekolah dan kebutuhan. Dulu itu sekolah nggak ada yang gratis, bansos juga enggak banyak,” katanya.
Baca juga: Tingkat Kemiskinan di Jawa, Yogyakarta Jadi Daerah Termiskin
Ia lebih memilih bekerja keras sebagai pelaku daur ulang sampah ketimbang harus mengemis di jalanan. Pekerjaan yang dilakoni bukan tanpa risiko.
Sering kali ia tergores besi dan kaca saat mengambil barang. Ia menunjukkan bekas lukanya di sekujur tangan dan kaki.
Dahulu ia menyanggupi panggilan untuk mengambil sampah dari titik di Semarang, bahkan Sayung, Demak. Kini paling tidak ia mengambil 2 titik di luar lingkungannya, dan sisanya berkeliling di kampungnya. Lalu setor ke bosnya.
“Dulu itu sehari dapat Rp 20.000 rata-rata, kalau dipikir pakai akal sedikit ya, tapi kok bisa buat hidup dan nyekolahin anak-anak semua, aneh kan,” ungkapnya.
Demi menyekolahkan anak, keluarganya kala itu harus tanggal di rumah papan dan menjadi korban langganan banjir tahunan di Semarang.
Saat anaknya lulus sekolah dan beranjak dewasa, akhirnya ia dapat menabung untuk perbaikan rumahnya. Lalu sekitar 10 tahun, ia membangun rumahnya yang kecil dan sederhana menjadi berdinding tembok.