KOMPAS.com - Ketika berkunjung ke daerah kalimantan, para pendatang biasanya dinasihati untuk menjaga perilaku agar tidak kepuhunan.
Adapun kepercayaan tentang kepuhunan memang masih melekat dan diwariskan sejak zaman nenek moyang.
Baca juga: Kisah di Balik Mitos Kunto Bimo, Arca Pembawa Keberuntungan di Candi Borobudur
Cerita tentang kepuhunan juga sampai saat ini masih menyebar dari mulut ke mulut dari orang yang pernah mengalaminya.
Biasanya kepuhunan akan dikaitkan dengan sikap kita saat diberi atau ditawari minuman oleh penduduk setempat.
Baca juga: Gunung Semeru: Lokasi, Sejarah Letusan, Mitos, dan Jalur Pendakian
Dilansir dari laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id, kapuhunan atau kapohonan merupakan kepercayaan masyarakat akan sebuah malapetaka yang akan terjadi jika kita melihat orang lain makan atau minum, kemudian tidak ikut menyantapnya.
Hal ini dipercaya harus dilakukan terutama jika kita melihat orang makan dan pemilik makanan akan mengangkat wadah hidangannya sambil menawarkan untuk turut bersantap.
Baca juga: 6 Fakta Pantai Parangtritis, dari Keindahan, Mitos, hingga Menjadi Inspirasi Lagu
Dalam hal ini yang dimaksud disini adalah merasai makanan yang dimakan orang yang kita lihat, atau sekedar menyentuhkan jari ke makanan tersebut kemudian menyentuhkan jari tersebut ke leher.
Dalam bahasa setempat juga dikenal dengan istilah tapen yaitu jika kita mempunyai niat dalam hati untuk makan atau minum sesuatu tetapi tidak dilaksanakan.
Oleh karena itu, maksud dari tradisi ini adalah agar keinginan yang kita simpan harus segera dilaksanakan.
Sementara dilansir dari banjarmasin.tribunnews.com, kapuhunan akan terjadi jika kita menginginkan suatu makanan atau minuman tapi tak terpenuhi, atau ketika kita ditawari makanan atau minuman oleh orang lain, namun tidak diindahkan.
Menurut penuturan Yuliyana, warga Landasan Ulin, Banjarbaru, jika masih kenyang maka sebaiknya kita bajapai (menyentuh) makanan tersebut atau cicipi sedikit saja untuk menghindari kapuhunan.
Adapun menurut warga lain yang bernam Siti Maryam yang paham dengan kebiasaan di masyarakat setempat, menyatakan bahwa kapuhunan memang biasanya identik karena rasa yang tak terpenuhi, menunda, atau mengabaikan tawaran makanan atau minuman.
Serupa dengan penuturan Yuliyana, menurut Siti, jika kita tidak sedang berselera maka mencicipi barang sedikit atau bejapai.
Lantas apabila terlanjur dan terjadi kapuhunan, seperti tertimpa musibah kecil, maka dianjurkan untuk segerakan makan atau minum yang sesuai dikehendaki sebelumnya.
Sumber:
warisanbudaya.kemdikbud.go.id
banjarmasin.tribunnews.com
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.