BENGKULU, KOMPAS.com - Jilbab cokelat yang dikenakan Raniah (50) berkibar kencang diterpa angin laut saat mendatangi sejumlah rumah yang tinggal puing ambruk akibat abrasi di pantai Desa Pondok Kelapa, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu.
Matanya nanar menatap puing-puing rumah yang berserakan sesekali tatapannya ia lempar ke laut lepas Samudera Hindia yang membentang di pesisir Bengkulu sepanjang 525 kilometer.
Puluhan rumah di desa itu terlihat berada dekat dari bibir pantai menunggu waktu laut akan melumatnya.
"Lihatlah pemilik rumah ini bernama Muris, ia bersama keluarganya terpaksa pindah ke luar desa karena rumah dan tanahnya habis disapu abrasi. Tertinggallah puning-puing saja. Kami mulai resah, kami ingin menghentikan abrasi tapi tak mampu," kata Raniah yang didaulat para perempuan Desa Pondok Kelapa sebagai Ketua Kelompok Perempuan Sungai Lemau, di desanya itu, Selasa (2/1/2023).
Baca juga: Jejak Sejarah Peradaban yang Terancam Tenggelam karena Krisis Iklim
Bersama ratusan perempuan desa setempat Raniah membentuk organisasi Perempuan Sungai Lemau yang berjuang menyuarakan keresahan kelompok perempuan agar abrasi segera diatasi.
Sejumlah kegiatan mereka lakukan mulai dari menanami mangrove sepanjang pesisir hingga berkirim surat pada pemerintah agar abrasi di kampungnya dapat dihentikan.
"Aksi perempuan desa menyelamatkan kampung dari abrasi selalu gagal, kami pernah menanam mangrove di sepanjang pantai namun habis tersapu ombak, ombak laut Samudera Hindia memang ganas. Kami berkirim surat ke bupati, DPRD, gubernur, juga dilakukan namun belum ada titik terang," keluhnya.
Kepada Kompas.com, Raniah mengisahkan 20 tahun silam, saat abrasi belum menggila, warga desa setempat bekerja sebagai nelayan dayung, dan petani kelapa.
Hidup makmur mereka rasakan. Hasil laut melimpah sedangkan buah kelapa terus berbuah.
Namun ujian melanda ketika laut perlahan menenggelamkan perkebunan kelapa serta melumat tempat pendaratan ikan bagi nelayan.
"Daratan kami hilang sejauh 1 kilometer sejak 20 tahun terakhir, ratusan hektar kebun kelapa dan tempat pendaratan nelayan hilang. Alhasil suami kami bekerja sebagai nelayan menjadi pengangguran sementara kaum perempuan yang sebelumnya bekerja sebagai penjual ikan kering turut kehilangan pekerjaan," kenang Raniah.
Baca juga: Terdampak Abrasi, 35 KK di Pesisir Kota Mataram Diusulkan Pindah
Raniah mengatakan dahulu saat laut masih bersahabat dari pendapatan menjual ikan kering kaum perempuan bisa mengumpulkan uang Rp 3 juta per bulan ditambah menjual kelapa sekitar Rp 1 juta per bulan, total pendapatan sekitar Rp 4 juta.
Itu belum ditambah hasil tangkapan ikan dari kaum pria.
"Per bulan bisalah mendapatkan uang Rp 6 jutaan kala itu. Namun, sekarang semua tinggal cerita. krisis Iklim ini nyata. Suami kami kehilangan pekerjaan, anak-anak putus sekolah," kenangnya.
Para kaum bapak dan ibu yang kehilangan pekerjaan akibat abrasi bertahan hidup bekerja serabutan menjadi buruh harian, kuli, tukang hingga memungut buah kelapa sawit sisa (brondol) di sebuah perkebunan swasta terdekat.
"Bapak-bapak jadi kuli, buruh, itu juga kalau ada pekerjaan kalau tidak mereka menganggur. Sementara ibu-ibunya jadi tukang pungut buah brondol sawit di perusahaan, ada juga yang membuka kantin jajanan. Namun, tutup pula dilanda pandemi Covid-19," ungkap Raniah.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.