Hal ini juga dilakukan karena nantinya laki-laki akan menjadi menjadi tumpuan keluarga perempuan.
Setelah menikah, seorang laki-laki akan menjadi “tamu” sebab mereka kemudian akan tinggal di rumah keluarga istrinya.
Dalam sebuah keluarga, terdapat wanita tertua atau dituakan di kaum yang dijuluki limpapeh atau amban puruak.
Ia akan mendapat kehormatan sebagai penguasa seluruh harta kaum dan mengatur pembagiannya.
Sementara laki-laki tertua di kaum akan diberi julukan sebagai tungganai.
Ia bertugas sebagai mamak kapalo warih yang hanya berkuasa untuk memelihara, mengolah, dan mengembangkan harta milik kaum, tapi tidak untuk menggunakannya.
Termasuk dalam urusan pembagian warisan, nantinya orang-orang dari garis keturunan ibu akan mendapatkan porsi lebih banyak dibanding dari garis bapak.
Kuatnya hubungan ini sendiri dilandasi oleh tujuan serta berbagai kepentingan bersama, yaitu berupa kepemilikan atas rumah dan tanah.
Sehingga meski perempuan berperan besar dalam kesukuan, bukan berarti ia akan mendapatkan kuasa penuh pada harta warisan atau pusaka di keluarganya.
Dari pembagian harta warisan ini biasanya harta warisan akan digunakan secara bersama-sama oleh sang penerima warisan dengan anggota keluarga yang lain.
Bisa dibilang, harta warisan ini kemudian tidak bisa dibagi dan harus tetap utuh karena menjadi milik bersama.
Sumber:
Ariani, Iva. 2015. Nilai Filosofis Budaya Matrilineal di Minangkabau (Relevansinya Bagi Pengembangan Hak-Hak Perempuan di Indonesia). Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 1, Februari 2015.
townandcountrymag.com
sumbarprov.go.id
gramedia.com
sonora.id
kebudayaan.kemdikbud.go.id