SEMARANG, KOMPAS.com - Pakar Lingkungan dan Tata Kota Unissula Semarang Mila Karmila menilai, pembangunan tak ramah lingkungan dan pengambilan air tanah berlebihan menjadi akar masalah yang mempercepat terjadinya rob di pesisir pantai utara.
Kawasan industri dinilai bertanggung jawab menguras air tanah dalam jumlah besar, untuk memenuhi kebutuhan pekerja maupun operasional industrinya.
“Itu (ancaman) cukup besar ya, apalagi sekarang di Sayung kan semakin banyak industri,” terang Mila kepada Kompas.com, belum lama ini.
Aktivitas industri menjadi penguras air tanah terbesar yang jumlahnya tak sebanding dengan sumur bor milik masyarakat.
Baca juga JEO Kompas.com: Ancaman Tenggelamnya Wilayah di Pesisir Utara Jawa Tengah
“Coba lihat bagaimana peta keberadaan industri di pesisir. Mulai dari pelabuhan, Terboyo, Wijayakusuma, itukan banyak sekali kawasan industri yang mengambil air bawah tanah,” kata dia.
Kawasan tersebut, kata dia, diprediksi akan tengggelam lantaran kurang antisipasi dari pemerintah dan pelaku industri.
Dengan minimnya jumlah air tanah, permukaan tanah menjadi mudah ambles.
Akibatnya, tanah turun 10-20 sentimeter setiap tahunnya di daerah pesisir utara, terutama Pekalongan, Demak, dan Semarang.
“Alternatifnya harusnya pakai air tanah dangkal. Nah, jumlah air dangkal kita kan juga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan industri,” ujar dia.
Ia menyarankan pemerintah dapat mengatur pemenuhan kebutuhan air untuk pelaku industri melalui PDAM.
Tentu saja dengan harga berbeda dengan PDAM rumah tangga.
Dengan begitu, mampu meminimalisir ekstraksi air bawah tanah sehingga terjadinya rob dapat diperlambat.
“Solusi jangka panjangnya ya memperbaiki tata ruangnya ya, harus memiliki aturan tata ruang yang ditaati, mungkin penempatan industri,” kata dia.
Baca juga: DPRD Minta Pemerintah Pusat Bantu Permasalahan Banjir Rob di Kota Semarang
Sehingga nantinya pembangunan infrastruktur tidak menambah beban permukaan tanah yang sejak awal memang tidak berstruktur tanah tua atau tidak padat.
“Penurunan muka tanah itu kan ada yang alami kompaksi ya, karena tanahnya memang masih bujang. Kalau jenis tanah tua, tidak lagi mengalami penurunan. Tapi, di Semarang dan sekitarnya kan tanahnya masih berusaha untuk kompak (padat) ya,” ujar dia.
Kondisi struktur tanah seperti di Semarang yang terbebani pembangunan dan pengambilan air bawah tanah berlebihan membuat permasalahan semakin kompleks.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.