Aborsi aman untuk korban kekerasan seksual tercantum dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun otoritas akses informasi beserta layanan tidak ada implementasi yang berarti.
Direktur Yayasan Inisiatif Perubahan Akses Menuju Sehat (IPAS) Indonesia, dr Marcia Soumokil mengatakan, penyintas dihadapkan pada batasan usia kehamilan yang terlampau singkat serta terbatas pada usia kehamilan 6 minggu atau 40 hari saja, dalam konteks tempat persediaan sistem dukungan dan informasi yang mumpuni bagi semua kelompok identitas tidak dapat dipastikan.
Untuk mengakses itu, butuh proses birokrasi yang panjang dan menyebabkan penundaan ke akses kesehatan seksual dan reproduksi yang dibutuhkan penyisitas dengan segera.
Baca juga: Pria di Ambon Perkosa 5 Putri Kandung dan 2 Cucunya, Dituntut Hukuman Seumur Hidup
Selanjutnya, stigma sosial yang terkait dengan aborsi korban pemerkosaan yang diekspresikan bukan hanya oleh masyarakat secara umum juga dilakukan tenaga kesehatan dalam poin akses aborsi dari individu dengan indikasi kedaruratan medis.
“Ketika kemudian korban perkosaan tidak bisa mendapatkan haknya yang penuh, termasuk pelayanan kesehatan yang segera, maupun hak untuk menghentikan kehamilan ketika ia menginginkan untuk dihentikan maka kehamilan ini menjadi bermasalah. Karena tidak diinginkan dan tidak direncanakan," kata dr Marcia saat ditemui di Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Jepara pada 25 November 2022.
Menurutnya, aborsi bagi korban pemerkosaan sejatinya legal di Indonesia. Aturan aborsi secara tertulis diatur dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Beleid tersebut telah membuat panduan tata cara pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi korban kekerasan seksual pada perempuan dan anak termasuk aborsi aman.
Baca juga: Residivis di Luwu Perkosa Ibu Hamil dan Lecehkan Kakak Korban, Pelaku Kini Diburu Polisi
Namun, UU Kesehatan belum bisa membantu para korban pemerkosaan untuk mendapatkan layanan aborsi aman. Meskipun di dalam regulasi tersebut sudah jelas disebutkan bagaimana mengakses layanan bagi korban perkosaan yaitu membentuk tim dokter, dokumen dari polisi, dan sebagainya.
Bahkan, lebih rinci tata laksananya dijabarkan dalam Permenkes Nomor 3 Tahun 2016 tentang Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksual (HKSR) serta Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan Dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.
“Sampai saat ini layanan tersebut belum bisa diakses di daerah,” ujar Marcia.
Mengacu pada UU Kesehatan dan peraturan pelaksananya, sambung Marcia, seharusnya pemerintah dapat menyediakan atau menunjuk layanan kesehatan penyedia layanan aborsi aman khusus untuk korban perkosaan.
Apabila korban karena berbagai hal meneruskan kehamilan, maka menjadi urgen bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan korban atas perawatan selama kehamilan, kelahiran bahkan hingga proses adopsi negara apabila diperlukan.
Satu persyaratan yang paling rumit untuk dipenuhi dari ketentuan UU Kesehatan sehingga kerap menjerat korban perkosaan menjadi terpidana adalah ketentuan Pasal 76 UU Kesehatan huruf a, bahwa aborsi hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis.
Pada kenyataannya, banyak korban pemerkosaan tidak tahu kalau mereka sedang hamil. Lebih-lebih anak-anak di bawah umur yang masih buta kesehatan reproduksi akibat akses informasi yang terbatas dan kuatnya tabu untuk membicarakan hal itu secara terbuka.