Selain itu, menurut Divisi Bantuan Hukum LBH Apik NTB, Ida Md Kartana bahwa faktor budaya dan agama menyebabkan korban perkosaan tidak bisa mendapatkan hak secara komprehensif termasuk layanan aborsi aman.
"Kalau di Lombok sulit korban perkosaan mendapatkan haknya secara penuh karena ada awik-awik dalam adat sasak. Bahkan, pernah kami advokasi korban yang hendak dinikahkan dengan pelaku,” katanya.
"Begitu juga di Sumbawa ada adat yang berlaku. Sehingga aborsi pada korban pemerkosaan ini masih tabu, penuh stigma dan pelabelan pada korban," kata dia menambahkan.
Sementara, Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) UIN Mataram, Yan Mangandar, mengatakan, dari mulai proses pelaporan, penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan korban pemerkosaan menghadapi tantangan yang tidak mudah.
"Korban menjadi korban berkali-kali saat proses itu, agar korban mendapatkan hak secara penuh sepertinya butuh perjuangan yang panjang," kata Yan.
Baca juga: Perjalanan Kasus Mas Bechi, Anak Kiai Jombang yang Terbukti Cabuli dan Perkosa Santri
World Health Organization menemukan fakta bahwa terjadi sekitar 56 juta aborsi di dunia, dan 25 juta di antaranya adalah aborsi tidak aman. 98 persen dari 25 juta aborsi tidak aman tersebut terjadi di negara berkembang, termasuk di Indonesia, dan 40 persen di antaranya tidak mendapat perawatan.
Sedangkan, Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa 4,1 persen dari kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh keguguran atau aborsi tidak aman.
Pada sidang Dewan PBB pada 09 November 2022, Ika Ayu dari Save All Women and Girls (SAWG) merespons Universal Periodic Review (UPR) yang disampaikan pemerintah Indonesia.
Baca juga: Berulang Kali Perkosa Anak Tetangga, Kakek di Bojonegoro Terancam 15 Tahun Penjara
Ika Ayu menyampaikan kekecewaan pada pemerintah Indonesia yang kurang siap merespons isu seksualitas, kekerasan berbasis gender, hak kesehatan reproduksi, kesehatan ibu dan anak dan asas aborsi aman yang semestinya dilakukan sebagai upaya untuk mencapai SDGs.
Dalam pantauan SAWG, kriminalisasi aborsi pada korban pemerkosaan telah terjadi pada 108 vonis kriminal di seluruh wilayah Indonesia dari tahun 2019 hingga 2021. Dari 31 vonis yang ada, perempuan atau remaja yang melakukan aborsi mengalami kriminalisasi.
Selain itu, 54 penyedia layanan dan pihak yang menjual obat-obatan pemicu aborsi dikriminalisasi. Begitu pula, 46 orang yang memberikan pendampingan informasi dan obat-obatan.
Dari 108 vonis tersebut, 51 di antaranya terkait dengan sanksi pidana dalam undang-undang kesehatan, 36 terkait dengan sanksi pidana berdasarkan Undang-undang Perlindungan Anak dan 21 vonis secara tegas mengacu dalam KUHP.
"Kami mendesak komitmen Pemerintah Indonesia untuk memberikan perhatian pada isu seksualitas alasan berbasis gender hak kesehatan reproduksi kesehatan dan anak dan akses aborsi aman dan solusinya," kata Ayu.