L (16) ini misalnya. L sedang menjalani pemulihan trauma dan rehabilitasi di Sentra Paramitha NTB karena keguguran setelah aborsi tidak aman yang dilakukan keluarganya. L hamil akibat kekerasan seksual.
Awalnya remaja itu enggan berbagi. Ia terus terisak. Pencabulan yang dilakukan sang pacar membuatnya menjalani masa sulit.
Saat bentuk tubuhnya berubah, nenek L memberinya ramuan-ramuan hingga akhirnya dia pendarahan dan dirujuk ke puskesmas.
Dokter merujuk L tinggal dan menjalani pemulihan di Paramita. Sudah hampir empat bulan dia menetap di sana, namun trauma masih membayangi dirinya. L beruntung selamat dari aborsi ilegal yang membahayakan jiwanya.
Baca juga: Berdalih Usir Pelet, Guru Silat di Lampung Perkosa Muridnya Selama Setahun
"Saya tidak tahu sampai kapan di sini. Tapi selama di panti, saya merasa bahagia. Ada banyak teman di sini, kami saling menguatkan," kata L yang berasal dari salah satu kecamatan di Sumbawa.
Lembaga Komnas Perempuan menerima pengaduan kasus pemaksaan aborsi, meski tidak hanya untuk kasus pemerkosaan saja.
Berdasarkan pengaduan yang diterima Komnas Perempuan, tercatat 147 kasus pemaksaan aborsi dari 2016-2021. Pelaku pemaksaan aborsi ini beragam mulai dari orangtua, suami ataupun pacar.
Baca juga: Pria di Bima Perkosa Anak Tiri, Pelaku Nyaris Dihakimi Warga
Apa yang dialami C, N, M, R dan L adalah kerentanan ketika negara tidak melindungi korban kekerasan seksual secara penuh.
Sebagai korban pemerkosaan, kehamilan mereka diketahui saat ada perubahan bentuk tubuh dengan kehamilan yang melebihi bulan keempat atau melebihi 120 hari. Padahal, saat itu sudah melewati batas pengguguran kehamilan yang ditetapkan UU kesehatan, yaitu enam minggu dihitung sejak haid terakhir.
Dampaknya, penyintas harus berhenti sekolah dan melahirkan pada usia dini karena tak ada jalan mendapatkan akses aborsi aman. Tentu saja setelah usaha penguguran kandungan tidak berhasil. Hal ini semakin menambah risiko kerentanan hingga kematian ibu akibat kehamilan yang tidak diinginkan.
Selama 2021, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatat kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi sebanyak 959 kasus. Angka ini meningkat tajam jika dibandingkan dengan tahun 2019 dan tahun 2020 yaitu masing-masing 545 dan 845 kasus. Hingga bulan Oktober 2022, tercatat 188 kasus kekerasan seksual pada anak di NTB.
Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB mencatat setidaknya 392 kasus kekerasan terjadi pada perempuan sejak Januari hingga 16 Desember 2021.,Sementara kasus kekerasan pada anak sebanyak 567 kasus.