Maria ingin memberikan sebuah alternatif pandangan terkait aborsi dalam perspektif Islam. Menurut Maria, ulama terdahulu dan ulama kontemporer sepakat bahwa aborsi sesudah kehamilan berusia 120 hari atau setelah peniupan ruh adalah dilarang kecuali dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan ibunya. Di antara mereka ada yang membolehkan sebelum berusia 120 hari.
Karena itu, Maria menyebut bahwa pandangan ulama sejatinya sangat terbuka terhadap praktik aborsi dengan alasan ada kondisi kedaruratan medis apalagi bagi korban perkosaan. Menurutnya, pandangan para ulama, mulai dari yang mengharamkan, membolehkan, hingga yang mewajibkan tergantung pada argumentasi dan konteks yang melatarbelakanginya.
"Aborsi pada kehamilan akibat perkosaan sebelum berusia 120 hari adalah boleh. Dalam kondisi kehamilan usia berapa pun yang mengancam keselamatan jiwa perempuan maka aborsi wajib. Sebaliknya, jika aborsi justru mengancam keselamatan jiwa perempuan maka haram. Melindungi jiwa perempuan yang hamil akibat pemerkosaan adalah wajib," tegas Maria.
Baca juga: Ancam Sebar Video Bugil, Guru Honorer di Sumsel Perkosa Pelajar SMA
Sebagai ulama perempuan yang tergabung dalam jaringan KUPI, ia berharap setelah keluarnya fatwa keagamaan KUPI II terkait perlindungan jiwa perempuan yang hamil akibat pemerkosaan harus ada gerakan masif dalam upaya penyadaran pemikiran pada tenaga kesehatan. Hal itu karena masih banyak yang menolak memberikan layanan aborsi karena takut dosa.
"Ketika terjadi hubungan seksual karena pemerkosaan, maka jiwa, akal, dan harga diri korban terancam. Harga dirinya dilecehkan karena banyak stigma dan menyalakan korban dan segala pelabelan yang selama ini kental di masyarakat harus diakhiri," jelas Maria.
Baca juga: Ancam Sebar Video Bugil, Guru Honorer di Sumsel Perkosa Pelajar SMA
"Aborsi ini urusan kesehatan, bukan moral. Harapan saya penyelamatan jiwa korban perkosaan sangat mendesak untuk disosialisasikan agar sejalan dengan implementasi UU TPKS," pungkas Maria.
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) kedua yang dilaksanakan pada 23-26 November 2022 di Semarang dan Jepara membahas perlindungan jiwa perempuan dari kehamilan akibat pemerkosaan.
Hal ini disampaikan Masruchah, Ketua Pelaksana KUPI II.
Menurutnya, isu ini bukan tiba-tiba muncul, tetapi sudah melewati pembahasan panjang.
Masruchah mengatakan, saat perempuan etnis Tionghoa menjadi korban pemerkosaan masal pada Mei 1998. Seiring waktu semakin maraknya perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban pemerkosaan di lingkungan pesantren serta lingkungan terdekatnya.
"Kami mulai membahas, melihat, seperti apakah perlindungan jiwa korban pemerkosaan dan akses aborsi aman itu oleh teman-teman ulama perempuan, jadi strategi apa perlu dibangun untuk melindungi jiwa korban pemerkosaan," kata Masruchah, Sabtu (26/11/2022).