BANDA ACEH, KOMPAS.com - Seorang anak berusia 7 tahun di Desa Mane, Kabupaten Pidie, Aceh terinfeksi virus polio. Kasus yang dialami anak berinisial A ini merupakan kasus pertama sejak Indonesia menyatakan bebas polio pada 2014.
Rendahnya angka imunisasi polio di Aceh pun disebut Dinas Kesehatan Aceh sebagai salah satu penyebab utama munculnya kasus polio, yang membuat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) langsung menetapkannya sebagai kejadian luar biasa (KLB).
Azhar (45), ayah dari A mengatakan, A awalnya mengalami demam panas. Dia kemudian membawa anaknya ke puskesmas untuk diobati.
Baca juga: Dinkes DKI Pastikan Kasus Polio Belum Ditemukan di Jakarta
Petugas kesehatan saat itu mencurigai anaknya memiliki ciri terserang virus polio. Sampel darah dan feses A diambil, kemudian dikirim ke laboratorium Sr Oemjati Jakarta.
Hasilnya, A positif polio tipe dua, penyakit yang menyerang tungkai dan saraf kaki dan bisa mengakibatkan kelumpuhan bahkan kematian.
Azhar mengaku, putra ketiganya memang tidak pernah mendapat imunisasi sejak lahir. Alasannya, sang anak sering mengalami demam, sehingga keluarga enggan melakukan imunisasi.
"Apalagi kalau disuntik itu kan nanti anak kita bisa jadi sakit, jadi banyak juga orang bilang tidak usah diimunisasi," ungkap Azhar.
Keengganan melakukan imunisasi karena hoaks dan informasi yang salah, menjadi alasan utama banyak warga di Aceh terutama di pedesaan yang jaraknya jauh dari pusat kota tidak mau melakukan imunisasi.
Dinas Kesehatan Aceh mengatakan, polio yang ditemukan di Desa Mane ini merupakan kasus polio tipe 2 pertama di Indonesia.
“Dua hal bisa dipastikan sebagai penyebab virus bersarang, yakni tidak adanya imunisasi dan tidak adanya higienitas di lingkungan tempat tinggal,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Aceh, Hanif.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Aceh, cakupan imunisasi polio setiap tahun terus menurun. Rendahnya imunisasi diduga membuat virus muncul khususnya di pedalaman Aceh.
Ini terlihat di Pidie dalam tiga tahun terakhir. Misalnya pada 2020 imunisasi jenis OPV4 hanya 19 persen dan IPV 0,3 persen.
Pada 2021, OPV4 sebesar 17,7 persen dan IPV 0,5 persen. Adapun pada 2022, OPV4 hanya 17,7 persen dan IPV 0,1 persen.
Imunisasi OPV4 menggunakan virus polio yang dilemahkan, sedangkan IPV adalah virus polio yang dimatikan. OPV diberikan ke mulut dengan cara tetes, sedangkan IPV secara injeksi atau suntik.
Hanif juga mengakui bahwa tenaga kesehatan tidak bisa bekerja sendiri untuk memberi edukasi dan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya imunisasi.