Meskipun demikian, Kadipaten Mangkunegaran dan Pura Mangkunegaran masih tetap menjalankan fungsinya sebagai penjaga tradisi dan cagar budaya hingga saat ini.
Berikut adalah daftar Adipati Mangkunegara sejak berdiri hingga saat ini:
Secara arsitektur, Kompleks Pura Mangkunegaran memiliki bagian-bagian yang menyerupai kraton dengan adanya pamedan, pendhopo, pringgitan, ndalem, dan keputren yang dikelilingi oleh tembok tinggi yang kokoh.
Memasuki Kompleks Pura Mangkunegaran melalui gapura berwarna hijau, pengunjung akan menemukan pamedan, yaitu lapangan hijau tempat latihan prajurit pasukan Mangkunegaran.
Di sebelah timur pamedan terdapat bangunan Kavallerie Artillerie.
Pintu gerbang kedua menuju halaman dalam terdapat Pendopo Ageng yang berukuran 3.500 meter persegi.
Bangunan pendopo yang berbentuk joglo ini dapat menampung kurang lebih lima sampai sepuluh ribu orang.
Tiang-tiang kayu Pendopo Ageng berbentuk persegi sebagai penyangga atap joglo diambil dari pepohonan yang tumbuh di hutan Donoloyo di perbukitan Wonogiri.
Meski terbuat dari kayu, seluruh bangunan Pendopo Ageng didirikan tanpa menggunakan paku.
Bangunan Pendopo Ageng dicat dengan warna kuning dan hijau yang disebut warna pari anom, yaitu warna khas keluarga Mangkunegaran.
Di bagian langit-langit pendopo terbentang Batik Kumudowati serta delapan kotak dimana bagian tengahnya masing-masing memiliki warna dengan arti yang berbeda.
Di Pendopo Ageng juga tersimpan tiga buah gamelan yang ditabuh pada waktu-waktu tertentu.
Gamelan-gamelan tersebut bernama Lipur Sari yang ditabuh setiap hari Rabu untuk latihan tari, Kyai Seton (yang terdiri dari Kyai Segoro Windu, Kyai Pamerdasih, dan Kyai Baswara) ditabuh setiap hari Sabtu, dan Kyai Kenyut Mesem yang ditabuh pada upacara pernikahan dan kenaikan tahta.
Tepat di belakang Pendopo Ageng terdapat bangunan pringgitan berbentuk kuthuk ngambang yang digunakan untuk pertunjukan wayang kulit.