GORONTALO, KOMPAS.com – Sisa cangkang telur penyu masih terlihat berserakan di pasir pantai Tanjung Binerean Desa Mataindo Kecamatan Pinolosian Tengah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Sulawesi Utara.
Di samping cangkang telur penyu ini, di pantai yang sama terdapat sisa-sisa lubang munculnya anakan maleo senkawor (Macrocephalon maleo). Kedua tempat menetas satwa ini dilindungi hatchery berfondasi beton, bertiang kayu berdinding kawat ram yang disertai jaring, kandang ini berfungsi untuk mengamankan tukik danchick (anakan maleo).
“Saat ini belum musim maleo bertelur. Apalagi kondisi cuaca yang hujan lebat dan laut bergelombang tinggi,” kata Hanapi warga Desa Mataindo.
Pria kekar ini telah bertahun-tahun menjaga pantai Tanjung Binerean, menjaga dan memastikan burung maleo bertelur tanpa gangguan manusia dan predator setiap pagi. Usai pasangan maleo menyimpan telurnya di dalam tanah, Hanapi kemudian menggalinya dan memindahkan ke kandang penetasan.
Tidak hanya maleo yang memberi kepercayaan pada pantai ini untuk mengerami telurnya, sejumlah penyu juga sering didapati bertelur di lokasi yang sama.
Penyu yang pernah menempatkan telurnya di sini adalah berjenis penyu hijau (Chelonia mydas), lekang (Lepidochelys olivacea), dan belimbing (Dermochelys coriacea).
“Penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dewasa pernah kami catat kehadirannya di pantai Binerean, namun tidak bertelur,” kata Alfons Patandung, staf Wildlife Conservation Society (WCS) IP-Sulawesi Program yang terlibat riset di kawasan Tanjung Binerean sejak awal.
Tanjung Binerean merupakan koridor hidupan liar yang sedang dikelola menjadi rumah bagi banyak jenis satwa liar.
Koridor Tanjung Binerean terletak di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, berbentuk memanjang dari pinggir pantai sampai batas Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) di pedalaman.
Baca juga: KLHK Keluarkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Maleo Senkawor
Kawasan ini memiliki keunikan, di pantainya menjadi tempat bertelur penyu dan burung maleo senkawor, tidak jauh dari peneluran ini terdapat rawa yang banyak ditumbuhi nipah (Nypa fruticans).
Rawa tidak seberapa luas ini ternyata menjadi habitat buaya muara (Crocodylus porosus). Buaya juga biasa dijumpai di sekitar laut di depan rawa, di laut yang menjadi bagian Teluk Tomini di sisi utara ini juga menjadi rumah bagi dugong (Dugong dugon), hiu paus (Rhincodon typus).
Di sisi daratan, sebagian telah menjadi ladang masyarakat, ditanami kelapa dan tanaman keras lainnya, juga terdapat semak dan tumbuhan lainnya.
“Buaya muara itu saudara saya, saya sering melihatnya berjemur di rawa atau di pantai,” kata Hanapi.
Hanapi tidak sedang membual, kedekatan dengan satwa ini dibuktikan saat mencari ikan pada malam hari untuk lauk pagi besoknya. Berbekal lampu senter yang melilit kepalanya, ia membawa parang menuruni rawa ini, ia menerobos semak yang tumbuh di rawa dalam hanya berbekal senter yang tidak seberapa terang cahayanya di kepalanya.
Ia mencari ikan yang lengah di rawa ini, gabus, mujair, dan sidat tidak bisa mengelak saat parang tajamnya lebih dulu mengenai tubuh ikan. Segera saja ikan-ikan ini diikat dalam tali yang terbuat dari bagian pohon yang tumbuh di sekitar rawa.
Baca juga: Pembangunan Tempat Wisata dan Kebun Sawit Sebabkan Populasi Burung Maleo di Sulbar Terancam Punah
“Itu buaya,” kata Hanapi sambil tangannya menunjuk ke arah dua mata yang menyorot di antara pohon nipah.
Jaraknya tidak jauh dari tempatnya berdiri, sorot kemerahan mata buaya ini juga terlihat tidak terusik, diam saja. Namun saat di dekat pemilik dua mata ini memilih mundur ke arah nipah yang lebih lebat.
Malam itu Hanapi tidak lama di dalam rawa, tangannya sudah membawa beberapa ekor ikan yang cukup dimasak untuk sarapan pagi. Malam itu ia membuktikan rawa ini masih dihuni buaya muara.
“Kita cukup dengan ikan ini, jangan banyak-banyak mengambilnya, sisakan ikan di rawa untuk buaya,” ujarnya sambil tersenyum.
Setelah menyimpan ikannya di kotak pendingin di dapur pondok stasiun riset lembaga konservasi Wildlife Conservation Society (WCS) yang bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Sulawesi Utara, Hanapi bercerita jika pada beberapa bulan lalu di tahun ini seorang pemancing diterkam buaya saat mencari ikan di laut belakang desa Mataindo. Pemancing ini konon kabarnya mengganggu anak buaya yang ditemui.
“Buaya seperti kita, tidak mau terusik. Kalau ketemu di tempat hidupnya biarkan saja. Kita harus saling menghormati sesama makhluk ciptaan Tuhan,” ujar Hanapi.
Baca juga: Pesan Gaib Ratu Deku untuk Menjaga Maleo