Wolfram Wodong mendapat desain dengan pengaruh arsitektur Jerman yang terlihat dari bentuk jendela yang besar dengan motif kotak.
Gereja Asei yang baru kemudian diresmikan pada 1 Januari 1950, di mana angka tahun ini terlihat di salah satu anak tangga pada teras depan sebelah utara.
Bangunan Gereja Asei yang terbuat dari kayu sempat mengalami kerusakan berat dan dipugar pada 2001.
Tak hanya dipugar, Gereja Asei juga dijadikan situs gereja tua oleh Pemerintah Daerah Irian Jaya.
Arsitekturnya Gereja Asei bergaya Neo-Vernakuler dengan bentuk persegi panjang.
Gereja Asei yang menghadap ke barat memiliki atap dari seng dengan rangka kayu yang berbentuk pelana, membujur dari barat ke timur.
Keunikan Gereja Asei ada pada kerangka atap yang disangga oleh 10 tiang kayu.
Jumlah tiang penyangga melambangkan jumlah marga yang mendiami pulau Asei yaitu Ohee, Ongge, Pepoho, Asabo, Nere, Puhiri, Pouw, Kere, Modow, dan Yapese.
Makna dari keberadaan 10 tiang tersebut adalah setiap marga berkewajiban menopang gereja Gereja Asei.
Tiang-tiang tersebut berjajar simetris di sisi kanan dan kiri bangunan dengan jumlah masing-masing 5 tiang.
Pada tiang di dekat pintu terdapat ornamen patung yang dipahatkan di bagian atas tiang. Patung sebelah kiri melambangkan Hawa dan patung di sebelah kanan melambangkan Adam, sepasang manusia pertama di bumi.
Di ruang utama di dekat dinding sebelah utara terdapat mimbar terbuat dari bata dan dan plesteran semen.
Sisi kiri dan kanan mimbar dihiasi ornamen sayap, dengan bagian depannya dihiasi ornamen yang menggambarkan Yesus dengan tangan menengadah dengan matahari bersinar di bagian kanan atasnya serta tulisan “Bumilah Alas Kakiku” di bagian bawah.
Selain bangunan utama, terdapat ruang kecil di sebelah selatan bangunan yang dahulu digunakan sebagai ruang sekolah.
Saat ini ruangan tersebut digunakan sebagai ruang kostori (tempat pendeta dan majelis jemaat).