Menurut penuturan Yohanes Pouw, awalnya Gereja Asei dibangun dengan bentuk yang sangat sederhana dimana dindingnya terbuat dari bahan gaba-gaba (pelepah sagu) dan atap dari rumbia.
Pada masa Perang Dunia II, Pulau Asei termasuk dalam wilayah pergerakan tentara Jepang atau disebut dengan lintasan merah.
Tak pelak pertempuran antara Jepang dan Sekutu (Amerika Serikat) pda waktu itu juga berdampak pada Pulau Asei.
Pulau Asei dibombardir oleh pasukan Sekutu yang menyebabkan beberapa daerah termasuk Gereja Asei turut hancur.
Setelah Perang Dunia II berakhir, Gereja Asei dibangun kembali di atas bukit dan dipercayakan pada tukang kayu setempat bernama Wolfram Wodong.
Wolfram Wodong mendapat desain dengan pengaruh arsitektur Jerman yang terlihat dari bentuk jendela yang besar dengan motif kotak.
Gereja Asei yang baru kemudian diresmikan pada 1 Januari 1950, di mana angka tahun ini terlihat di salah satu anak tangga pada teras depan sebelah utara.
Bangunan Gereja Asei yang terbuat dari kayu sempat mengalami kerusakan berat dan dipugar pada 2001.
Tak hanya dipugar, Gereja Asei juga dijadikan situs gereja tua oleh Pemerintah Daerah Irian Jaya.
Arsitekturnya Gereja Asei bergaya Neo-Vernakuler dengan bentuk persegi panjang.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.