Mewakili orangtua lainnya, Iin dan Tri merasakan fasilitas ramah difabel masih kurang.
Baik di kota besar seperti Semarang, maupun kota kecil lainnya. Fasilitas pengobatan dan rehabilitasi juga belum terjangkau untuk semuanya.
“Seperti mau ngajak jalan-jalan ke mal, repot pakai eskalatornya,” keluh Iin.
Semestinya di ruang publik, pemerintah maupun swasta mempertimbangkan keberadaan kaum difabel dalam membangun fasilitasnya.
Termasuk memilih travelator ketimbang eskalator untuk memudahkan pengguna kursi roda.
Kemudian, fasilitas konseling bagi orangtua anak-anak cerebral palsy, khususnya ibu-ibu yang mengurus anaknya secara intens.
Baca juga: Puluhan Kasus KDRT Terjadi di Jateng, Paling Banyak Kota Semarang
Kondisi kesehatan mental terjaga dan terhindar dari stres.
Sementara untuk masyarakat, mereka berharap dukungan moral. Seperti halnya didahulukan saat berbaris dalam antrean dan perlakuan kecil lainnya.
“Tolong jangan lihat dengan pandangan aneh dan jijik. Lebih baik tanya langsung saat melihat kami, daripada ngomongin di belakang,” terang dia.
Dengan keberanian orangtua untuk menampilkan anak-anak cerebral palsy di ruang publik, ia harap masyarakat lebih terbiasa menerima keberadaan anaknya.
Tak seperti stigma cerebral palsy adalah sebuah ‘kutukan’ yang dilanggengkan masyarakat awam, sejatinya cerebral palsy merupakan gangguan yang terjadi pada otak dan saraf seseorang.
Gangguan itulah yang menyebabkan fungsi motorik tak bekerja sebagaimana mestinya dan terkadang membuat kecerdasan di bawah rata-rata.
Hal itu membuat anak cerebral palsy tak bisa beraktivitas secara mandiri.
“Cerebral palsy merupakan kondisi imbas yang bisa terjadi saat bayi mengalami sakit berat. Kemudian berdampak pada sel otak,” tutur Dokter Spesialis Anak Harancang Pandih Kahayana yang bertugas di RS Wongsonegoro.
Kondisi itu juga dapat terjadi bila ada infeksi virus toxoplasmosis, rubella (campak Jerman), cytomegalovirus (CMV) dan herpes simpleks (TORCH) saat masa kehamilan.
Untuk menerjemahkannya, Dokter Pandih mengibaratkan sel kuku dan sel otak. Bila sel kuku yang rusak saat terluka dapat tumbuh kembali, sel otak tidak demikian.