LEWOLEBA, KOMPAS.com - Bagi masyarakat Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), menenun pada umumnya dilakukan seorang perempuan.
Perempuan dinilai memiliki ketelitian dan kesabaran dalam menenun. Selain itu, menenun juga butuh proses panjang.
Namun, berbeda dengan Mikael Doni Ledun, warga Desa Tapobali, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata. Pria 42 tahun ini justru memilih menjadi seorang penenun.
Kendati demikian, Dandi, sapaan Mikael Ledun mengaku melewati proses panjang sebelum menentukan pilihan menjadi penenun.
Beberapa tahun lalu, Dandi meninggalkan kampung halaman untuk melanjutkan pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Kota Kupang.
Pendidikannya belum rampung, Dandi mendapat kabar duka, ayahnya tutup usia. Dengan rasa putus asa dan sedih, Dandi pulang ke kampung halaman di Tapobali.
Baca juga: Pejabat Pembuat Komitmen Proyek Pembangunan 2 Puskesmas di Lembata Jadi Tersangka Korupsi
Beberapa saat kemudian, Dandi ingin melanjutkan kuliah. Ia ingin mewujudkan mimpinya menjadi seorang sarjana kesehatan masyarakat.
Dandi pun memilih melanjutkan kuliah di Universitas Veteran Republik Indonesia Makassar.
Setelah meraih gelar sarjana, Dandi pulang ke kampung. Sayangnya, meski dengan gelar yang ada, tidak membuatnya mudah mendapat pekerjaan.
Dandi tak putus asa. Ia kemudian memilih menggeluti usaha yang berbeda dari pria-pria lain, yakni menjadi penenun. Keterampilan ini dipelajarinya secara otodidak dari ibu-ibu di kampung halaman.
"Saya pikir akan mudah kerja di Lewoleba, malah tambah sulit karena tenaga harian lepas (THL) saja diputus kontraknya. Akhirnya saya memilih untuk jadi penenun," ujar Dandi saat dihubungi, Kamis (6/10/2022).