KOMPAS.com - Duka mendalam terhadap tragedi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada Sabtu (1/10/2022) lalu.
Berdasarkan data dari Tim Kedokteran Polisi (Dokpol), total ada 450 korban yang meninggal dunia dan luka-luka.
“Jumlah korban 450 orang,” kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo saat dikonfirmasi, Senin (3/10/2022).
Dedi menyebutkan, dari data tersebut, sebanyak 125 korban meninggal dunia. Kemudian, puluhan orang luka berat dan ratusan luka ringan.
Kerusuhan terjadi usai Arema FC mengalami kekalahan saat bertanding melawan Persebaya Surabaya dalam laga pekan ke-11 Liga 1 2022-2023.
Kerusuhan itu tidak terelakkan saat Aremania turun ke lapangan untuk menyampaikan protes.
Berusaha mengendalikan situasi, jajaran pengamanan menembaki gas air mata ke beberapa arah kerumunan suporter, bahkan ke beberapa tribune yang masih banyak suporter Aremania.
Kondisi akhirnya menjadi semakin mencekam karena banyak suporter yang terinjak-injak hingga sesak napas akibat gas air mata yang ditembakkan ke tribune stadion.
Baca juga: Tragedi Kanjuruhan, Gibran ke Suporter Persis Solo: Kita Belajar dari Kesalahan Ini
Pengamat Sepak bola Buyung Ismu mengatakan, berdasarkan aturan FIFA, senjata api maupun gas air mata dilarang dibawa bahkan digunakan saat di stadion.
Larangan penggunaan gas air mata tertuang dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations.
Pada pasal 19 tentang Pitchside stewards huruf b) tertulis, "No firearms or 'crowd control gas' shall be carried or used."
Bunyi aturan ini intinya senjata api atau gas untuk mengontrol kerumunan dilarang dibawa serta digunakan.
Dokumen FIFA Stadium Safety and Security Regulations dapat dilihat dan diunduh di sini.
Lantas, mengapa polisi menembakkan gas air mata saat kerusuhan terjadi?
Menurut Buyung, seharusnya panitia yang memahami mengenai aturan tersebut, mengingatkan pada pihak terkait untuk tidak menggunakan senjata tajam dan sejenisnya dalam mengendalikan situasi kerusuhan.