KOMPAS.com-Kota Lhokseumawe, Aceh, pada 1970-an hingga akhir 1990-an dikenal sebagai salah satu pusat industri gas alam.
Bahkan, Lhokseumawe sampai dikenal dengan sebutan kota petrodollar.
Keadaan berubah pada 2015, PT Arun NGL selaku pengelola sumur gas di sana harus menghentikan operasinya.
Baca juga: Harga BBM Naik, Organda Lhokseumawe Minta Kenaikan Tarif AKDP hingga Rp 40.000
Keadaan itu diakui Penjabat (Pj) Wali Kota Lhokseumawe Imran ikut memukul perekonomian warga.
Kendati demikian, turunnya industri pertambangan gas mendorong masyarakat mencari cara lain untuk menopang perekonomiannya.
Salah satu usaha yang disorot Imran adalah usaha bordir warga.
“Saya sudah minta motif bordir itu di-explore,” kata Imran saat berkunjung ke Kantor Kompas.com, Palmerah, Jakarta, Selasa (27/9/2022).
Motif ukiran yang ada di Lhokseumawe telah diminta Imran untuk didokumentasi agar kemudian bisa dikembangkan menjadi motif bordir tradisional.
Dia juga menyatakan, Pemerintah Kota Lhokseumawe berencana mematenkan motif bordir itu.
Baca juga: Ikhtiar Memakmurkan Pidie Jaya lewat Coklat dan Migas
Untuk mendukung usaha itu, Imran telah meminta aparatur sipil negara (ASN) di Lhokseumawe mengenakan baju yang memiliki motif bordir lokal dipakai untuk bekerja pada setiap Jumat.
“Kita harap produk tidak hanya dipasarkan di tingkat lokal,” sebutnya.