SEMARANG, KOMPAS.com - Kebesaran Semaoen yang dikenal sebagai tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) tak bisa dilepaskan dari Kota Semarang.
Sebuah daerah yang dijuluki sebagai Kota Atlas itu menjadi tempat Semaoen menggalang massa. Pada 1916 Semaun memulai petualangannya di Kota Semarang.
Sebelum menjadi ketua PKI di Kota Semarang, dia lebih dulu menjadi pemimpin redaksi berbahasa Melayu yang merupakan media Sarekat Islam atau SI.
Baca juga: Pembantaian PKI di Bali
Media yang dipimpin Semaoen sebagai pemimpin redaksi diisi dengan beberapa tokoh yang cukup terkenal, seperti Mas Macro Kartodikromo dan Darsono.
"Media tersebut bernama Sinar Djawa yang kelak berubah nama menjadi Sinar Hindia," jelas Sejarawan Universitas Negeri Semarang (Unnes) Tsabit Azinar Ahmad kepada Kompas.com, Kamis (29/9/2022).
Selain aktif menulis, Semaoen juga terlibat aksi mogok kerja para buruh kepada Pemerintah Hindia-Belanda.
Hal itulah yang membuat SI di Kota Semarang mempunyai basis massa yang besar. Hal itu membuat Kongres SI Semarang tahun 1917 memilih Semaoen menjadi ketua SI Semarang.
"Pada tahun 1919 Semaun berhasil meningkatkan jumlah anggota SI Semarang," ujarnya.
Tak berselang lama, pada 1920 Semaoen terpilih menjadi Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) pertama. Sebelum menjadi ketua Partai PKI, dia juga kerapkali bersinggungan dengan SI pusat.
Baca juga: Mengapa Hoaks dan Isu PKI Masih Laku untuk Propaganda Politik?
Semaoen ketika menjadi ketua SI Semarang mulai menanamkan gerakan propaganda sosialis revolusioner. Hal itu membuatnya kerap bersinggungan dengan SI pusat.
Sebuah jurnal berjudul Muncul dan Pecahnya Sarekat Islam di Semarang 1913-1920 yang ditulis Endang Muryanti menyebut, Semaoen mempunyai pandangan berbeda terkait dewan perwakilan rakyat atau Volkstraad.
Saat itu, SI pusat menginginkan adanya dewan perwakilan rakyat (Volksaraad). Namun SI Semarang khususnya Semaoen yang beraliran radikal tidak senang dengan keputusan tersebut.
Menurut Semaoen, adanya Volkstraad sama saja dengan bekerja sama dengan Pemerintah Kolonial Belanda yang dia anggap sebagai penjajah.
Dalam Kongres Nasional Sarekat Islam ketiga di Surabaya pada 29 September–6 Oktober 1918, pengaruh Semaoen semakin luas.
"Semaoen mulai mengoordinir kaum buruh dan tani melalui sentral Sarekat Pekerja," jelasnya.
Baca juga: Deretan Pahlawan Revolusi yang Gugur Saat Pemberontakan G30S PKI