Ia mencontohkan penyerobotan tanah di Desa Mekar Sari dan Tebing Tinggi Kecamatan Marosebo Ulu, Kabupaten Batanghari, Jambi.
Menurut Abdullah ada lahan yang diperuntukkan bagi petani transmigrasi dari Jawa Tengah seluas 308 hektar di kuasai oknum mafia tanah.
"Kejadian sudah 10 tahun. Tapi negara kalah dengan pengusaha lokal yang menguasai lahan bersertifikat milik petani transmigrasi," kata Abdullah.
Petani transmigrasi dari Jawa Tengah hidup memilukan di tanah rantauan, mengantongi sertifikat tanah tapi lahannya dikuasai mafia tanah.
Oknum dari mafia tanah ini, terus berupaya mengadang perjuangan petani transmigran untuk mendapatkan tanahnya, dengan ancaman dibacok, ditembak, dan rumah dibakar.
Setelah dikirim dari Jawa oleh pemerintah di Desa Mekar Sari dan Tebing Tinggi Kabupaten Batanghari, Jambi pada 2005, ratusan petani transmigrasi mendapatkan sertifikat penguasaan lahan seluas 308 hektar dan 34 hektar pada 2010.
Namun pada 2012 lahan mereka direbut mafia tanah, pengusaha lokal yang kemudian ditanami sawit.
Sampai sekarang mereka masih mengantongi sertifikat tanpa adanya lahan.
Persoalan ini sudah disampaikan ke Kementrian ATR-BPN, Kemendes, Mabes Polri bahkan KSP. Namun petani transmigran belum juga mendapatkan hak atas tanahnya.
"Kami baru bisa bergerak, setelah anak buah mafia tanah, preman besar yakni Judi mati ditembak polisi pada 2021 lalu. Sebelum itu kami hidup ketahutan dan selalu menerima ancaman," kata Jais mantan Kepala Desa Mekar Sari saat konferensi pers pada Hari Tani Nasional (HTN) 2022 di Walhi Jambi, Sabtu (24/9/2022).
Baca juga: Kasus Mafia Tanah di Padang Dihentikan, tapi 1 Orang Masih Jalani Hukuman Penjara
Ia mengatakan selama bertahun-tahun petani transmigrasi hidup di bawah bayang-bayang ketakutan, lantaran mendapatakan ancaman dibacok dan ditembak.
"Kalau dipukul dan ditendang itu sudah sering kami terima. Kalau dibacok dan ditembak itu belum. Rumah yang dibakar itu ada tiga rumah warga," kata Jais dengan suara parau.
Bahkan anak buah dari mafia tanah, sering menyantroni rumah warga dan meminta jatah keamanan Rp 2 sampai Rp 5 juta kepada aparat desa setiap bulan.
Kawanan mafia tanah ini sangat kuat dan berkuasa. Jais saat menjadi kepala desa, sempat ditodong pistol oleh kawanan mafia tanah.
"Waktu itu, saya selaku kepala desa mendampingi petani transmigrasi yang diusir oleh anak buah sang mafia tanah. Saya ditodong pistol suruh mundur tak boleh ikut campur," kata Jais.