KOMPAS.com - Banyak orang hanya mengenal tradisi minum teh yang berasal dari negara lain seperti Afternoon Tea di Inggris dan Sado atau Chanoyu dari Jepang.
Padahal, Indonesia sebagai salah satu negara penghasil teh juga mengenal tradisi serupa yang sudah ada sejak zaman dahulu.
Baca juga: Asal Usul Nama Teh Obeng, Minuman Menyegarkan Khas Batam
Tradisi minum teh ini ada yang berkembang dari kebiasaan para bangsawan atau keluarga kerajaan, namun ada juga yang menyebar dari kebiasaan di masyarakat.
Terlebih teh sebagai bahan minuman telah dikenal secara turun-temurun dan kini sudah lekat dengan keseharian orang Indonesia.
Baca juga: Perkebunan Teh Kayu Aro, Kerinci, Terbesar ke-2 di Dunia
Berikut adalah beberapa tradisi minum teh di indonesia, lengkap dengan dengan cara penyajian dan aturan yang berbeda-beda.
Baca juga: Lebih Sehat Mana, Teh Hijau atau Teh Hitam?
Patehan adalah sebutan bagi sebuah upacara minum teh tradisional di Keraton Yogyakarta untuk menjamu keluarga Sultan, kerabat Sultan, maupun tamunya.
Dilansir dari laman kratonjogja.id, Patehan dimulai dengan arak-arakan Abdi Dalem Keparak yang mengenakan pakaian tradisional dari Gedhong Patehan yang berada di sisi selatan Plataran Kedhaton Keraton Yogyakarta.
Istilah Patehan sendiri berasal dari “teh”, yaitu jenis minuman yang diseduh.
Sesuai dengan artinya, Patehan menjadi bagian dari dapur istana yang bertugas menyiapkan minuman, khususnya teh, dan segala perlengkapan untuk keperluan Keraton Yogyakarta.
Ritual Patehan menjadi upacara minum teh sehari-hari yang telah diikuti oleh para sultan sebelumnya.
Namun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX terjadi pergeseran pada rutinitas minum teh untuk sultan karena kesibukan beliau yang banyak menetap di Jakarta.
Patehan kemudian tetap dilakukan setiap hari, namun minuman dibawa dan diletakkan di Gedhong Prabayeksa.
Minuman akan didiamkan di sana sampai diambil kembali untuk diganti pada jadwal penyajian minum berikutnya.
Cara menyajikan minuman di Patehan juga tidak sederhana, salah satunya yaitu air yang digunakan harus diambil dari sumur Nyai Jalatunda dan dimasak di dalam ceret tembaga.
Setiap bahan pun memiliki takarannya dan ada cara-cara khas yang diberlakukan dengan tujuan tertentu, seperti tidak mengaduk-aduk teh saat menyeduhnya agar kualitas rasa tidak berkurang.
Tegal memang dikenal sebagai salah satu daerah penghasil teh, dengan satu tradisi khas yaitu menyajikan teh di dalam poci.
Dilansir dari laman indonesia.go.id, tradisi ini dilakukan dengan menyeduh daun teh di dalam poci yang terbuat dari tanah liat di mana proses ini diyakini akan menciptakan aroma yang sangat khas.
Teh poci sebenarnya adalah seduhan teh kental yang dibuat di dalam poci yang kemudian dituangkan ke cangkir yang telah berisi gula batu.
Kehadiran gula batu dalam sajian teh poci adalah sebagai pelengkap untuk mendapatkan rasa nasgitel atau wasgitel yang berarti wangi, panas, legi (manis), dan kenthel (kental).
Ciri khas teh poci juga ada pada cara menikmatinya yaitu tidak boleh diaduk, melainkan membiarkan gula batu tersebut larut secara perlahan
Konon, ada filosofi dibalik cara penyajian teh poci yaitu tentang kehidupan yang pahit di awal, namun jika kita sanggup bersabar maka lambat laun akan terasa rasa manis.
Selain itu ciri khas teh poci adalah poci tanah liat yang digunakan menyeduh teh tidak pernah dicuci bersih pada bagian dalamnya, namun hanya dibilas dan dibuang sisa-sisa tehnya saja.
Hal ini karena endapan berwarna hitam yang menempel pada dinding poci dipercaya akan menambah cita rasa dan aroma teh menjadi semakin enak.
Nyaneut adalah nama untuk tradisi minum teh di Garut untuk menyambut tahun baru islam.
Dilansir dari laman visitgarut.garutkab.go.id, kebiasaan minum teh warga Garut dimulai saat ilmuwan Belanda Karel Frederik Holle membuka perkebunan teh di Cigedug dan Bayongbong pada sekitar abad ke-19.
Tradisi Nyaneut memiliki cara yang khas yaitu diawali dengan memutar gelas teh di telapak tangan sebanyak dua kali, setelah itu aroma teh harus dihirup terlebih dahulu sebanyak 3 kali, dan baru teh tersebut boleh diminum.
Selain itu, teh biasanya disajikan bersama kudapan yaitu berupa singkong, ubi jalar, atau ganyong yang direbus.
Nyaneut kemudian berkembang menjadi kebiasaan masyarakat Garut dan sekitarnya yang berada di kaki Gunung Cikuray untuk menghangatkan tubuh.
Nyahi adalah tradisi minum teh orang betawi yang berasal dari budaya Arab yaitu Syahi yang artinya teh. Walau begitu ada pula yang percaya tradisi ini berasal dari Tiongkok.
Dikutip dari laman Bobo, kegiatan nyahi ini dilakukan di pagi maupun sore hari bersama keluarga atau teman.
Sajian teh yang dihidangkan berupa teh tubruk yang diseduh dalam teko kaleng yang berbahan kuningan.
Uniknya teh disajikan bersama gula kelapa, di mana gula akan digigit terlebih dulu baru dilanjutkan dengan menyeruput teh tawar hangat.
Sajian teh ini bisanya kan dilengkapi dengan berbagai kudapan tradisional seperti jalabia, cucur, talam, ape (pepe), apem, wajik, atau sekadar kacang tanah, pisang atau jagung yang sudah direbus.
Sumber:
kratonjogja.id
indonesia.go.id
visitgarut.garutkab.go.id
bobo.grid.id