Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sudaryono, B.Eng.,MM.,MBA
Ketua Umum APPSI

Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia – APPSI

Di Masa Depan, Orang Papua Harus Mengelola "Emas" Sendiri

Kompas.com - 21/09/2022, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PROVINSI Papua telah lima dekade menjadi bagian integral NKRI, tapi kita tidak menyaksikan pembangunan yang signifikan terjadi di papua.

Tingkat kemiskinan masih 26 persen, paling tinggi di Indonesia. Nilai Gini Rasio, tolok ukur ketimpangan pendapatan mencapai 0,41, menandakan “kue” pertumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati oleh kelompok kaya dibandingkan kelompok pendapatan rendah.

Skor IPM 60,4 persen meskipun dikategorikan sedang, namun rentan masuk kategori rendah.

Pada dimensi wilayah, ketimpangan pembangunan antara wilayah pesisir dan wilayah pegunungan di Papua masih mewarnai.

Ini seperti janus faced, di daerah pesisir cenderung tersedia infrastruktur yang lebih lengkap seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, pelabuhan, jembatan dan jalan yang baik. Sementara, kondisi sebaliknya, terlihat di wilayah Pegunungan.

Tidak mengejutkan jika skor Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antara wilayah pesisir dan pegunungan antara “bumi dan langit”.

Misalnya, skor indeks IPM Kota Jayapura sebesar 80,11. Sementara di Kabupaten Nduga angka indeks IPM sebesar 32,84.

Kabupaten Nduga bukanlah satu-satunya kabupaten dengan kategori IPM rendah. Masih ada 17 kabupaten di Papua atau meliputi lebih dari 50 persen wilayah papua dikategorikan IPM rendah.

IPM rendah menunjukan sebagian besar penduduk yang berdomisili di daerah itu berpenghasilan kurang layak, memiliki tingkat partisipasi sekolah rendah, serta layanan kesehatan buruk.

Apa yang dipotret oleh angka statistik, dibandingkan realitasnya, jauh lebih parah. Warga Papua yang tinggal di pegunungan harus menanggung quadruple burden: bukan hanya memiliki daya beli rendah, akses sekolah dan layanan kesehatan buruk, namun juga harga komoditas pangan dan non pangan yang melonjak tinggi.

Harga telur di daerah pegunungan Papua mencapai Rp 100.000 hingga Rp 120.000 per rak. Satu rak berisi 30 butir.

Di Yalimo, telur bahkan dijual eceran Rp 5.000 per butir. Sementara di wilayah pesisir Papua, harga telur mencapai Rp 75.000 hingga Rp 80.000 per rak. Kondisi ini mempeparah kondisi sosial ekonomi masyarakat Papua.

Salah satu penyebab utama pemasalahan pembangunan ekonomi di Provinsi Papua terletak pada lemahnya konektivitas antarwilayah di Papua. Akses jalan darat yang menghubungkan dari dan ke wilayah pegunungan sangat terbatas jumlahnya.

Merujuk data statistik infrastruktur Papua tahun 2020, panjang jalan di Provinsi Papua hanya 21.122,7 Km.

Rinciannya, jalan nasional 2.636,8 km (12,48 persen), jalan provinsi 2.536,3 km (12,01 persen), dan jalan kabupaten/kota 15.949,7 km (75,51 persen).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com