Warga sebagian besar berasal dari Suku Maybrat yang sehari-harinya bekerja berkebun dan mengumpulkan pasir untuk bertahan hidup.
Sisanya digunakan untuk kebutuhan sekolah anak.
Warga lainnya, Hendrikus Tahoba (75) mengaku sudah menempati tempat ini sejak tahun 1990 meski demikian hingga saat ini keluarganya belum tersentuh bantuan dari pemerintah Kota Sorong.
"Impian saya punya rumah yang sederhana saja yang penting kami bisa punya rumah. kita tinggal dalam kota ini dengan kondisi rumah gubuk. Pemerintah kira kita ini orang hutan kah? kami minta tolong bantu kami, rumah dan lampu (listrik) itu sudah cukup," katanya.
Baca juga: Staf KPK Dikeroyok Usai Pasang Plang Larangan Aktivitas Pertambangan Ilegal di Sorong
Naftali Tahoba selaku tokoh pemuda mengaku sudah bertemu langsung dengan Ketua Satgas Direktorat Wilayah V Kordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dian Patria bersama pihak PLN.
Dia sudah menyampaikan keluhan warga yang belum memiliki rumah layak dan sarana kelistrikan.
Ia berharap, pemerintah dapat membantu kebutuhan warga karena segala bentuk aspirasi sudah disampaikan namun belum ada tanggapan.
"Sedangkan kami di sini tinggalnya di poros Kota Sorong tetapi kurang ada perhatian dari pemerintah kami berharap ada realiasi aspirasi kami kami bawah dalam bentuk proposal agar direspons pemerintah," ungkap dia.
Naftali menjelaskan, untuk pemasangan jaringan listrik sudah ada respons dari pihak PLN setelah ada kordinasi antara pihak KPK bersama PLN saat menanggapi keluhan warga asli Papua di lokasi galian C. Ketika itu KPK berkunjung untuk memasang plang larangan aktivitas tambang ilegal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.