KOMPAS.com - Grebeg gunungan merupakan tradisi turun temurun yang hingga saat ini masih digelar oleh Keraton Yogyakarta dan Surakarta.
Kata grebeg sendiri berasal dari kata gumrebeg yang memiliki filosofi sifat riuh, ribut dan ramai.
Baik Keraton Yogyakarta dan Surakarta setiap tahunnya selalu mengadakan tradisi grebeg sebanyak tiga kali pada hari besar Islam, yaitu Grebeg Syawal pada Hari Raya Idul Fitri, Grebeg Besar bertepatan pada Hari Raya Idul Adha dan Grebeg Maulud yang lebih populer Grebeg Sekaten pada peringatan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW.
Baca juga: Apa Itu Sekaten, Tujuan, Sejarah Singkat, dan Kegiatan
Dalam tradisi itu kedua keraton selalu ada gunungan yang dibuat dari makanan tradisional hingga sayur-sayuran atau hasil bumi.
Dilansir dari situs resmi pariwisata.jogjakota.go.id, gunungan menyimbolkan arti kemakmuran.
Baca juga: Tradisi Grebek Suro di Lumajang, Ada Gunungan Hasil Bumi hingga Kubur Kepala Sapi
Ada beberapa macam gunungan di Keraton Yogyakarta, antara lain gunungan lanang (laki-laki), satu gunungan wadon (perempuan), gunungan dharat, satu gunungan gepak, dan satu gunungan pawuhan.
Gunungan ini dibawa oleh para abdi dalem yang menggunakan pakaian dan peci berwarna merah marun dan berkain batik biru tua bermotif lingkaran putih dengan gambar bunga di tengah lingkarannya.
Semua abdi dalem ini tanpa menggunakan alas kaki alias "nyeker".