SALATIGA, KOMPAS.com - Kota Salatiga adalah kota tertua nomor dua di Indonesia.
Berdasarkan Prasasti Plumpungan, wilayah ini sudah ada sejak 750 masehi.
Namun, prasasti tersebut tidak menyebut nama Salatiga, yang ada adalah Desa Hampra.
"Saat itu, Desa Hampra masuk dalam wilayah perdikan atau daerah yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak," kata Warin Darsono, pegiat Salatiga Heritage-Kalantara Project, pada Minggu (11/9/2022).
Baca juga: Singgah di Rumah Ganjar, Puluhan Pendeta Maluku Hendak Nyantri di Ponpes Edi Mancoro Salatiga
Nama Salatiga, lanjut dia, baru disebut dalam dokumen yang dibuat Ricklof Van Goens pada abad ke-17.
"Jadi dalam rentang waktu kurang lebih 1.000 tahun, tidak ada literasi, manuskrip, atau prasasti apa pun. Ini semacam ada kekosongan catatan sejarah tentang Salatiga," ujar dia.
Daerah ini dikenal karena kesuburan, kesehatan warga, penduduk berumur panjang, hawa yang sejuk dan dingin.
"Disebutkan juga hal biasa masyarakat melihat es, itu semacam upas di Dieng," kata Warin.
Warin mengungkapkan, pada 1917, Salatiga ditetapkan menjadi Gemeente atau Kota Praja.
Status ini menjadikan pembangunan Salatiga sangat masif.
"Rumah-rumah mulai dibangun, fasilitas umum, sekolah, perkantoran, kantor pos, tata kota, dan jalan-jalan dibenahi," ungkap dia.
Karenanya, Salatiga mendapat julukan De Schoonste Stad van Midderi-Java atau Kota Terindah di Jawa Tengah.
"Dengan status Kota Praja tersebut, pemerintah daerahnya diberi kewenangan untuk membangun. Apalagi, lanskap Salatiga sangat mendukung karena dikelilingi gunung-gunung, seperti Merbabu, Merapi, Telomoyo, dan Ungaran," kata Warin.