Pada 2015, akhirnya Puta resmi membentuk komunitas menjadi Yayasan Peduli Kasih (PEKA).
Ia menggerakkan rekan sesama ODHA untuk mendampingi ODHA lainnya di seluruh pelosok daerah Jateng.
“Dengan dukungan sebaya sesama ODHA, kami berbagi motivasi supaya semangat melanjutkan hidup dan kami beri obat-obatan yang dibutuhkan,” tutur Puta.
Sekarang, Puta memiliki 40 kelompok komunitas ODHA yang tersebat di 35 kabupaten atau kota di Jateng.
Di dalamnya terdapat 90 ODHA mandiri yang menjadi pendamping di daerah masing-masing.
“ODHA mandiri itu kan ibaratnya sudah bisa menerima dirinya dan tidak perlu motivasi lagi. Mereka sekarang yang membantu ODHA yang baru terdiagnosa,” imbuh dia.
Tantangan dari luar yang masih dihadapi Puta yakni stigma buruk baik dari nakes maupun orang lain yang menyudutkan dan mendiskriminasi ODHA.
“Kadang pas lagi periksa dan nakes tahu kalau dia ODHA, perlakuannya langsung berbeda dan kadang merendahkan. Enggak semua, tapi masih ada yang begitu,” kata dia.
Belum lagi informasi hoaks yang bertebaran di internet selama pandemi Covid-19. Terkadang ODHA tidak bisa menyaring informasi yang benar sesuai kebutuhannya.
Meski pengobatan gratis dibiayai pemerintah secara penuh.
Baca juga: Mayat Tanpa Kepala di Semarang, Ada Papan Nama Iwan Budi Paulus dan Motor Hangus Terbakar di TKP
Namun, banyak anak korban orang tertular orang tua HIV/AIDS ditolak di sekolah. Bahkan, tidak diterima di keluarganya sendiri.
“Yang sebatang kara karena orangtuanya yang kena HIV meninggal juga ada, kalau kami di Jateng biasanya dirawat Rumah Aira,” ujar dia.
Ia sangat berharap kemajuan teknologi dan dunia medis dapat meracik vaksin maupun obat HIV/AIDS.