SEMARANG, KOMPAS.com - Eksistensi wayang kulit kian meredup seiring berjalannya waktu. Selain kerap dianggap kuno, tidak banyak anak muda yang menikmati pertunjukan wayang kulit lantaran penggunaan bahasa Jawa yang sulit dipahami.
Hal tersebut dijadikan salah satu alasan dalang muda domisili Semarang, Aldi Hasani Harfi Fadlani, giat menyebarkan dakwah melalui pertunjukan wayang kulit.
Mahasiswa UIN Walisongo Semarang itu menuturkan, biasanya, dalang pakem menggunakan Bahasa Jawa Kawi dalam pembawaannya. Sehingga, sebagian besar pesan yang disampaikan hanya masuk di telinga orang-orang tua.
Baca juga: Asal-usul Kesenian Tradisional Wayang Garing di Serang Banten
Dengan itu, dirinya berinisiatif mengubah pembawaan itu dengan tutur Bahasa Jawa halus, bahkan Bahasa Indonesia. Alasannya, agar bisa lebih diterima dan masuk ditelinga generasi muda.
"Saya mengubah Bahasa Jawa kawi itu dengan improvisasi. Apa yang belum disampaikan oleh dalang pakem, mungkin bisa saya sampaikan", tutur Aldi saat ditemui Kompas.com belum lama ini.
Dirinya mengaku, tujuan utama Aldi menggunakan bahasa Jawa halus itu tidak lain ingin merangkul anak-anak muda agar lebih menghormati warisan budaya Tanah Air Indonesia.
Namun dirinya sadar, hal tersebut sangat sulit direalisasikan karena kalah dengan hiburan digital yang lebih menarik dan esensial.
"Jarang yang tertarik melihat wayang kulit, bahkan mendengarkan dakwah sekali pun. Tapi itu yang jadi tantangan," tutur Aldi.
Meski demikian, Aldi tetap semangat menyebarkan pesan kebaikan melalui pertunjukan wayang dengan cerita humoris, perang, ataupun isu-isu sosial.
Baca juga: Wayang Potehi Jombang Ikuti Festival di Belanda, Sempat 2 Kali Gagal Berangkat
Hal yang paling penting, imbuh Aldi, dakwah yang disampaikan tidak memberi kesan buruk dan membosankan.
"Jadi wayang ini memiliki unsur rekreatif atau menghibur. Agar dakwah yang disampaikan tidak hanya edukatif, tapi juga rekreatif," ucap mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) itu.
Lebih jelas Aldi mengatakan, dakwah yang disampaikannya itu banyak mengambil cerita dari tokoh-tokoh pewayangan. Beberapa diantaranya, Wekudhara, Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Sengkuni, dan lainnya.
"Contoh, Werkudara punya kuku 5 Pancanaka, berarti 5 wektu kudu kukuh dilakonono. Filosofi semacam itu diajarkan oleh Sunan Kalijaga untuk menyamarkan budaya yang tadinya berbau Hindu, jadi ke Islam," jelas Aldi.
Baca juga: Wali Kota Tasikmalaya Wajibkan Pejabat dan ASN Pakai Sarung dan Nonton Wayang Golek
Kini perjalanan Aldi menjadi seorang da'i sekaligus dalang semakin berkembang. Tidak hanya mengisi pengajian umum, Aldi juga kerap diundang dalam acara walimatul khittan, walimatul ursy, bahkan akhirussanah dan acara besar lainnya.
Hebatnya, Aldi sudah menjelajahi seluruh desa di Kendal, serta beberapa desa di Batang dan Semarang.