Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Toto TIS Suparto
Editor Buku Lepas, Ghostwritter

Editor Buku

Tragedi Polisi Tembak Polisi Terulang Kembali...

Kompas.com - 07/09/2022, 06:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KASUS penembakan Brigadir J masih hangat diperbincangkan, masih menunggu persidangan, tiba-tiba publik dikejutkan lagi polisi tembak polisi. Sampai mati pula. Sama-sama tragedi.

Tragedi polisi tembak polisi terjadi di Lampung Tengah. Seorang polisi di Polsek Way Pengubuan, Lampung Tengah, Ajun Inspektur Polisi Dua Ahmad Karnaen, tewas saat berada di depan rumahnya di Kelurahan Bandar Jaya Barat, Kecamatan Terbanggi Besar, Lampung Tengah, Minggu (4/9/2022) malam.

Anggota Bhabinkamtibmas di Desa Putra Lempuyang, Way Pengubuan itu diduga tewas ditembak oleh sesama rekan polisi, Ajun Inspektur Polisi Dua RS, seorang provost di Polsek Way Pengubuan, Polres Lampung Tengah.

Level peristiwa memang kalah popular dari kejadian nahas Brigadir J, namun sama-sama tragedi.

Tragedi adalah peristiwa menyedihkan. Tragedi kehidupan, menurut Albert Einstein, sesuatu yang mati dalam diri seseorang pada saat dia hidup.

Tidak dirinci apanya yang mati. Namun bisa ditafsir maksud Einstein itu. Jika ditafsir, yang pertama muncul adalah matinya suara hati. Hilang tak bersuara. Hilang tak memberi arah.

Matinya suara hati, mati pula kesadaran moral. Pernah dikemukakan teolog John Henry Newman (1801-1890), dalam suara hati kita menyadari bahwa kita berkewajiban mutlak untuk melakukan yang baik dan benar, lantas menolak yang tidak baik dan tidak benar.

Bayangkan saja, sudah wajib ditambah mutlak. Ini jelas tak bisa ditawar-tawar. Maka dari itu suara hati bagaikan panggilan dari suatu realitas personal yang berkuasa atas diri kita.

Kalau kita mengikuti panggilan tersebut, maka membuat kita merasa bernilai, aman dan bersedia untuk menyerah.

Dari konsep itu jelas, kalau kita mengikuti suara hati, maka kita berkesadaran moral. Sebaliknya bilamana suara hati itu mati, hilanglah kesadaran moral. Hidup tanpa dilengkapi kesadaran moral maka perbuatannya cenderung immoral.

[ Saya mengikuti pakai istilah immoral. Ini mengacu kepada Concise Oxford Dictionary. Immoral berarti "bertentangan dengan moralitas yang baik" atau "secara moral buruk", bisa juga "tidak etis" ( K.Bertens 2007: 7). Sementara amoral yang sering digunakan punya arti "tidak berhubungan dengan konteks moral", atau "di luar suasana etis", dan "non-moral". Kalau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), amoral diartikan sebagai "tidak bermoral, tidak berakhlak"].

Kita bisa lihat bersama, tragedi polisi tembak polisi (baik di Lampung maupun Brigadir J) jelas bertentangan dengan moralitas yang baik alias immoral tadi.

Pendapat umum bisa saja menyatakan "bertentangan dengan moralitas yang baik", tetapi siapa tahu bagi para polisi penembak justru tindakan amoral alias "tidak berhubungan dengan konteks moral".

Dia menembak karena baginya sesuatu yang benar untuk menjaga harkat dan martabatnya.

Ingat, kita adalah homo mensura. Pada homo mensura, kata Protagoras, bahwa semua kebenaran, keadilan, bahkan hukum sekalipun ditentukan oleh manusia sebagai standarnya. Manusia menilai benar atau tidak itu adalah kebijakannya sendiri.

Oleh karena itu, pemahaman akan sesuatu yang baik bagi setiap orang menjadi berbeda. Benar bagi kita, belum tentu benar bagi polisi penembak. Salah bagi kita, bisa saja benar bagi mereka.

Banyak yang bilang homo mensura dapat dikatakan benar apabila berbicara secara individu. Tetapi jika dibawa ke area publik, ini bisa menimbulkan benturan.

Hal ini menjadi masalah serius karena jika diterapkan akan muncul konflik atau pertentangan dalam kepentingan individual dan kepentingan kolektif.

Dari kaca mata Zizek, seorang filsuf kontemporer, tragedi itu adalah the real, yakni situasi yang tak terkatakan di mana bisa saja melepaskan kita dari jaring-jaring rutinitas yang menjebak.

Dalam arti ini setiap orang mengalami tragedi dalam keseharian hidupnya. The real mengajak kita memikirkan ulang, kemana kita akan menuju, dan apa yang harus kita lakukan (Zizek, 1989).

Apa yang dikemukakan Zizek ini mengajak kita semua untuk memikirkan ulang, apakah ada yang "mati" dalam kehidupan kita? Sering-sering melihat ke dalam, membaca diri sendiri, agar hidup kita terawasi. Begitu ada yang mati, buru-buru diasah kembali.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com