Setelah menjadi tanah perdikan, Tegalsari semakin dikenal penduduknya juga bertambah banyak. Para santri mulai berdatangan dari berbagai daerah untuk belajar.
Sebuah masjid kemudian dibangun dan di sekitarnya dibangun pondok-pondok kecil untuk tempat tinggal sementara.
Baca juga: Santri Gontor Dianiaya hingga Tewas, Menko Muhadjir: Sangat Disesalkan Ponpes Tidak Terbuka
Di bawah asuhan Kyai Ageng Muhammad Besari, pengajaran kitab-kitab berbahasa Arab sudah dilakukan.
Alumni Pesantren Tegalsari antara lain pujangga jawa yang bernama Raden Ngabehi Ronggowarsito dan tokoh pergerakan nasional, HOS Cokroaminoto.
Setelah Kyai Ageng Beshari wafat, pesantren dipimpin putra ketujuh yang bernama Kyai Hasan Yahya. Lalu digantikan Kyai Bagus Hasan Besari II dan dilanjutkan oleh Kyai Hasan Anom.
Pesantren Tegalsari berkembang hingga pertengahan abad ke-19 atau generasi keempat keluarga Kyai Besari.
Baca juga: Santri Gontor Tewas Dianiaya, Wapres Tegaskan Kekerasan di Lembaga Pendidikan Tak Boleh Terulang
Pada abad ke-19 Masehi, Pesantren Tegalsari dipimpin Kyai Chalifah, anak keenam Kyai Hasan Besari.
Kala itu terdapat santri yang alim dan pandai bernama Sulaiman Jamaluddin yang berasal dari Cirebon. Ia kemudian menjadi menantu Kyai Chalifah.
Karena kealimannya, ia diberi tempat di tengah hutan belantara yang berjarak 3 km sebelah timur Pondok Pesantren Tegalsari atau 11 km ke arah tenggara dari Kota Ponorogo.
Dibantu 40 santri, ia mendirikan pondok pesantren seperti di Tegalsari.
Baca juga: Terbongkarnya Kasus Penganiayaan Santri Gontor, Lebam di Jasad Korban Jadi Petunjuk
Usai shalat Jumat. Sulaiman Jamaluddin dan istri ditemani 40 santri menuju lokasi yang ditunjukkan oleh mertuanya.' Di sanalah Kyai muda itu mendirikan pondok pesantren yang kini diberi nama Gontor.
Kala itu kawasan Gontor menjadi tempat persembunyian para perampok, penjahat, penyamun dan pemabuk. Karena itu lah kawasan itu dijuluki sebagai "tempat kotor" atau dalam bahasa Jawa disebut enggon kotor.
Menurut riwayat, nama Desa Gontor berasal dari ungkapan tersebut.
Awalnya pelajaran yang diberikana hanyalah masalah keagamaan karena tujuannya untuk mengembalikan kesadaran masyarakat sekitar.
Baca juga: Kasus Tewasnya Santri Gontor, Kemenag Bakal Terbitkan Regulasi Cegah Kekerasan
Termasuk saat dipimpin puteranya yang bernama Kyai Archam Anom Besari. Santrinya pun berasal dari berbagai daerah di Jawa termasuk dari Tanah Pasundan.
Setelah Kyai Archam wafat, pesantren tersebut dilanjutkan oleh generasi ketiga yakni Kyai Santoso Anom Besari. Sayangnya kegiatan pondok mulai surut.
Kyai Santoso pun meninggal dunia. Tak ada saudaranya yang melanjutkan kegiatan pondok.
Sang istri bersama tujuh anaknya pun bertekad untuk memajukan kembali pesantren yang dibangun nenek moyang dari suaminya.
Mereka tinggal di rumah sederhana dan terus mengerakkan kegiatan di masjid tua warisan keluarga Kyai Santoso.