KOMPAS.com - Tari Jaran Kepang atau dikenal juga dengan Kuda Lumping dan Jaranan merupakan kesenian rakyat banyak ditemukan di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur.
Saat tampil, para penari Jaran Kepang menunggangi kuda mainan yang dibuat dari anyaman bambu.
Jaran Kepang kerap diidentikkan sebagai tarian yang magis. Pasalnya, beberapa saat setelah tampil, penari akan mengalami trance atau kesurupan.
Saat mengalami itu, gerak penari akan liar. Tak jarang, mereka bakal menampilkan atraksi ekstrem.
Tarian ini tak hanya dipertunjukkan sebagai hiburan semata, tetapi juga kerap ditampilkan dalam acara bersih desa hingga ruwatan.
Baca juga: 8 Tari Tradisional Aceh, dari Tari Saman hingga Tari Rapa’i Geurimpheng
Dikutip dari indonesia.go.id, tarian ini jadi bagian tak terpisahkan antara hubungan manusia dengan alam. Dalam budaya masyarakat agraris, masyarakat sering menggelar ritual selamatan untuk memohon agar terhindar dari mara bahaya.
Salah satu contoh selamatan adalah ritual bersih desa. Prosesi ini cukup penting sebagai perwujudan memohon doa dan keselamatan untuk desa yang ditinggali.
Dalam kegiatan itu, Jaran Kepang kerap ditampilkan. Jaran Kepang menjadi semacam penghubung antara manusia dengan roh-roh penunggu desa.
Dilansir dari jurnal yang ditulis Hanifati Alifa Radia berjudul Dinamika Seni Pertunjukan Jaran Kepang di Kota Malang, Jaran Kepang merupakan contoh pertunjukan yang mewarisi sisi animisme.
Ia mengatakan, sebelum pergelaran dimulai, seniman Jaran Kepang harus meminta izin kepada leluhur di kepundhen daerah setempat. Dalam prosesi itu, ada sejumlah sesaji yang harus dipersiapkan.
Baca juga: 9 Tari Tradisional Yogyakarta, dari Bedhaya Semang hingga Beksan Lawung
Soerjo Wido Winarto pernah meneliti Jaran Kepang sebagai bagian dari prosesi bersih desa. Ia mengabadikannya dalam jurnal berjudul Jaran Kepang dalam Tinjauan Interaksi Sosial pada Upacara Ritual Bersih Desa. Lokasi penelitian berada di Desa Nongkosewu, Malang, Jawa Timur.
Ritual bersih desa di sana diadakan tiap setahun sekali pada bulan Suro.
Bersih desa kerap diadakan di tempat yang dianggap keramat. Di Nongkosewu, ritual digelar di tempat yang diyakini menjadi persemayaman Mbah Karang. Bagi warga di sana, Mbah Karang dipercaya sebagai pelindung desa. Dia adalah sosok yang pertama kali membuka hutan untuk kemudian dijadikan desa.
Bersih desa dimulai dengan ritual suguh. Prosesi diawali dengan donga ekral yang dipimpin sesepuh desa. Setelah melakukan beberapa prosesi lainnya, dilanjutkan dengan menampilkan Jaran Kepang. Seusai menari 8-10 menit, penggambuh (penari) mulai kerasukan.
Prosesi kemudian diambil alih oleh pawang/dukun untuk menyadarkan kembali penari. Seusai penari sadar, ritual dinyatakan selesai.
Baca juga: Mengenal Tari Aniri dan Orok, Warisan Budaya Masyarakat Papua Barat
Ritual suguh dikatakan berhasil bila memenemuhi tiga indikator, yaitu:
Selepas ritual suguh di pundhen usai, bersih desa disambung dengan kegiatan hiburan yang digelar di tempat luas. Jaran Kepang kembali dimainkan, tetapi kali ini berfungsi sebagai hiburan.
Baca juga: Tari Nguri: Latar Belakang, Gerakan, dan Kostum
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.